Skip to main content

Another Reason

Bulan hanya terlihat sedikit di awal bulan ini. Di sekelilingnya, bintang-bintang berkerlip memancarkan cahayanya sendiri. Mereka memenuhi cakrawala seraya menebarkan kehangatan malam. Di sisi lain, angin membelai dengan cukup buas, meninggalkan segenap memori hitam itu berkelebat di benakku.

“Mengapa kita bisa menjadi seperti ini?” tanyaku mencairkan kebekuan di antara kami. Tidak ada jawaban. Satu detik, dua detik, tiga detik, tetap tidak ada jawaban. Ia membisu sedari tadi, mungkin saja ia memikirkan fantasinya—entah tentang apa. Dengan sedikit jengkel, aku meninjunya tepat di bahunya. Kami yang tadinya sama-sama berbaring, tiba-tiba beranjak bangun dan duduk di rerumputan berkat satu tinjuan lemah itu.

“Seperti ini apa, Zha?”

Aku jelas mengetahui jika ia sedang berpura-pura. Orang seperti Dave memang sering sekali menutupi sesuatu yang diketahuinya—demi kelangsungan kehidupannya yang damai.

“Kau sudah mengatahuinya, Dave...”

“Entahlah,” gumamnya, “maaf jika aku membawamu terlampau dalam, tapi pada akhirnya aku harus mencampakkanmu. Asal kau tahu saja, ini bukan kehendakku, hubungan tanpa restu dan kau tahu ‘beda kepercayaan’ itu tidak perlu dilanjutkan.”

“Apa kau bercanda? Apa menurutmu 4 tahun itu waktu yang singkat?”

“Tidak, tetapi kau dan aku tidak mungkin menjadi kita nantinya. Perpisahan dini memang solusi terbaik untuk saat ini, maafkan aku.”

Aku menyandarkan punggungku di atas rerumputan. Berharap ini tidak pernah terjadi dan hubunganku bersama Dave akan terus terjalin. Kalau ini benar-benar terjadi, aku berharap aku tidak pernah mengenal laki-laki bernama Dave itu. Namun, sejujurnya Dave benar, perbedaan di antara kami terlampau banyak. Aku dan Dave tak mungkin bersatu.

Angin menerpa dengan kasarnya, menyadarkanku dari kenangan terakhir bersama Dave. Di bawah kehangatan sang dewi malam, aku bersimpuh di depan sebuah batu nisan yang terukir dengan jelas nama Dave di atasnya.

Comments

Post a Comment