Sesak menyerang dadaku seketika aku menutup pintu. Rasa bersalah kini bersarang dengan indahnya di permukaan batin juga kepala. Pandanganku yang sedang beradu melawan sinar lampu lama-kelamaan semakin kabur tersekat dinding air mata yang siap meluncur. Untuk saat ini, aku ingin mengemukaan sebuah harapan. Aku memang belum pernah sekalipun melihat fatamorgana oase di tengah gurun pasir, tetapi aku berharap jika lelaki di sudut kedai teh itu hanyalah fatamorgana atau sekadar ilusi yang kubuat sendiri.
“Lelaki itu masih saja datang,” sebuah kalimat terucap dari sela bibir manis Ann. Bukan sebuah pertanyaan seperti dua hari berturut-turut ini, melainkan sebuah pernyataan yang sama sekali tak bisa terbantahkan. “Apa kau akan terus bersembunyi?” lanjut Ann ketika tak mendapatkan jawaban dariku.
“Ya.”
Dengan berat hati, aku memaksa kaki-kakiku untuku berjalan melewati Ann dan berdiri di atas balkon. Angin sore yang tak bersahabat perlahan menyergap, berusaha melumpuhkan tiap inci pertahananku. Rangkaian air mata meluncur dengan bebas tanpa diminta, turun dan terus turun. Bayangan tentang lelaki itu masih saja berkelebat. Mata cokelat terangnya menerawang cangkir porselen yang tersaji tanpa fokus. Potongan rambutnya masih sama seperti tiga tahun yang lalu, juga selera fesyennya—kemeja yang digulung hingga siku, celana jin, dan sepatu kets.
“Sudah tiga tahun, apa kau benar-benar tak merindukannya?”
Sontak aku menoleh dan mendapati Ann berdiri di ambang pintu pembatas area rumah dengan balkon. Aku tahu, ia amat bersungguh-sungguh untuk membawaku pulang, tetapi aku belum siap kembali menuju diriku di masa lampau—yang sebenarnya. “Kau sudah tahu jawabannya,” jawabku seraya menahan getaran di setiap kata-kataku.
“Hm,” gumam Ann kemudian buru-buru menambahkan, “sampai kapan kau akan membohongi dirimu sendiri?”
“Entahlah.”
“Seperti yang kubilang sebelumnya, temui dia dan katakan jika kau merindukannya.”
Berkali-kali sudah aku mendengar kalimat permintaan tak masuk akal itu dari Ann. Mungkin ia berpikir jika semua yang dikatakannya benar-benar mudah untuk kulakukan. Namun, ia belum merasakan betapa sayatan luka lama ini akan terbuka begitu saja ketika melihat batang hidung lelaki itu. Bahkan tanpa tatapan yang begitu dekat, rasanya jantungku akan berhenti memompa darah ke seluruh tubuh hingga kualihkan pandanganku darinya.
“Kau tidak akan melakukannya jika berada di posisiku, kau akan lebih memilih untuk bersembunyi selamanya dibandingkan harus menguak cerita lama yang hanya akan membuatmu lebih sakit daripada ini.”
Baper...
ReplyDelete