Daun kering berguguran melepaskan diri dari
tangkainya yang telah rapuh. Hembusan angin dan teriknya sinar matahari
menambah hawa kering atmosfer. Aku dan seorang temanku melintas di salah satu
lingkungan yang cukup terkenal dengan sekolah-sekolah terbaik di Kota Pelajar
ini. Karena sudah masuk waktu Ashar kami memutuskan untuk berhenti di salah
satu masjid. Masjid ini adalah bagian dari sejarah, sejarah Islam dan juga
sejarahku, Masjid Syuhada.
Temanku beranjak menaiki tangga setelah mengambil
air wudhu, sedangkan aku menuju tempat khusus perempuan. Aku melaksanakan 4 raka’at
sholat kemudian berdoa sebentar. Ketika aku akan mengembalikan mukena yang
kupinjam, seorang perempuan dalam balutan pakaian hitam memasuki ruangan. Ia
menaruh kaos kakinya kemudian melepas cadarnya. Ia hanya beberapa langkah di
depanku. Dengan sopan aku tersenyum sekilas ke arahnya. Alih-alih membalas
senyumanku, ia justru berdiri dan menghampiriku.
“Hai, Dhif!” sapanya ramah.
Aku amat terkesiap dengan apa yang dikatakannya.
Rasanya aku tak mengenalnya atau mungkin aku benar-benar buruk dalam mengingat
orang. Aku hanya diam dan mengamati wajahnya, kalau dia mengenalku pasti aku
mengenalnya.
“Aku Mawar, ingetkan?” katanya.
Aku tak menyangka bahwa itu Mawar. Perubahan yang
sangat dapat kudapati pada dirinya. Ketika kami masih anak-anak, ia kerap
menanggalkan kerudung yang seharusnya ia gunakan sebagai seragam sekolah. Ia
juga kerap bergurau bahkan kelewatan ketika bersama teman-teman kami yang
laki-laki. Namun, apa yang aku saksikan amat berbeda.
“Bingung ya?” tanyanya melihat wajahku yang
mungkin menatapnya clueless.
Aku tersenyum hambar dan menimpali, “Ah, nggak
kok.”
Kami berbincang sedikit mengenai kabar hingga
percakapan kami ditutup dengan sebuah kalimat yang terucap dari bibirnya
sebelum mengucapkan perpisahan.
Sebelum keluar dari ruangan itu, aku memaku diri
di depan pantulan kaca. Melihat penampilanku yang sekarang—kaos, korsa, celana
jins, dan kerudung paris—amat sangat berbeda dengan Mawar. Namun, pikiran itu
hanya lambat laun, dalam sekejap hilang entah ke mana.
“Lama banget, udah insyaf?” temanku ternyata
sudah sedari tadi menunggu di depan masjid dengan sebotol air mineral dingin.
“Ketemu temen tadi,” jawabku santai, “dia cadaran
eh!”
“Itu pilihannya, just be who you are,” katanya
seraya melempar botol air mineral itu ke arahku. Aku hanya mendengus lantas
mengikutinya bertolak dari Masjid Syuhada.
It’s
a choice. Semua itu pilihan.
A/N: Mawar bukan nama sebenarnya, I don’t have a copyright of this
picture
Comments
Post a Comment