Skip to main content

Never Love Spring


Desah angin berhembus lembut di sekitar leherku meski telah kukenakan syal yang berkali-kali kulilitkan. Dingin tetapi tidak terlalu, bahkan terkadang aku merasakan kehangatan yang rancu silih berlalu. Pucuk-pucuk daun terlihat berkembang dengan malu-malu, terkadang mereka melambai, terkadang mereka memutuskan untuk berdiam.
Aku yang tengah menyusuri trotoar berjalan perlahan, sangat perlahan. Kakiku terus memaksa bergerak sedangkan benakku berkata lain. Bukan, bukan untuk berhenti namun untuk singgah sebentar pada suatu tempat di mana aku kerap memikirkan apa arti cinta dan kasih sayang.
“Kau pikir aku tak benar-benar membutuhkanmu?” tanya laki-laki itu sore itu.
Aku tak merespon, justru menyesap kopiku hingga tersisa hanya ampasnya. Ia terdiam melihatku bungkam. Matanya menatap tajam, mungkin kepalanya siap meledak kalau-kalau di sekitar kami tak banyak orang.
“Aku membutuhkanmu, sangat.”
“Bukan sekarang waktu yang tepat,” kataku akhirnya.
Setelah aku memikirkannya dengan cepat, aku masih belum siap. Bayanganku akan kehidupan baru yang jauh berbeda dengan yang selama ini kujalani amat samar di bayanganku. Rasanya aku ingin menumpahkan segala emosiku, tapi bahkan aku tak bisa untuk mengeluarkan air mata. Semua inderaku terasa mati ketika berhadapan dengannya.
“Tunggu sebentar lagi.”
“Kalau kau terus seperti itu, bagaimana aku bisa hidup?”
Tak ada yang harus aku jawab. Seandainya kau tahu betapa hancurnya aku ketika kau meminta persetujuan itu dariku. Seandainya aku bisa memilih, aku akan berjuang bersama Ibu bukan bersamamu. Seandainya saja waktu bisa kuputar, aku akan menjaga kalian berdua selayaknya pasangan yang harmonis. Ayah, seandainya kau bisa merasakan apa yang aku rasakan.
“Aku tidak bisa meninggalkanmu untuk hidup sendiri, aku ingin kau hidup bersamaku, meskipun dia akan tetap menjadi ibumu.”
“Kau, sudah tidak seperti Ayah yang kukenal.”
“Turutilah aku sekali ini saja.”
“Maaf, tapi tidak akan pernah,” tutupku.

Kini aku berada di depan rumahnya, menatap pintu kayu itu dengan perasaan serba salah. Sayup-sayup kudengar suara orang menangis dengan keras. Suara alat dapur yang dibanting dengan jelas menyergap indera pendengaranku. Aku tahu ini akan terjadi lagi, jadi aku tak akan pernah mengatakan iya untuk hidup bersamanya.

Comments