
Ketika sajak menggema di bawah purnama, aku mengedarkan pandang. Berharap denting piano mengiringi kedatanganmu. Tidak tampak batang hidungmu dari sini, yang ada hanya riuhnya orang berdesakan berebut udara.
Hampir setiap orang yang ada di sana bersolek layaknya artis papan atas. Menggunakan gaun berenda eksklusif atau tuxedo mahal keluaran desainer ternama. Rasanya hanya aku yang tampil apa adanya berbalut gaun sifon sederhana, atau mungkin ini hanya perasaanku saja.
Tidak ada yang peduli dengan keberadaanku, terasing di tengah keramaian, sangatlah cliche. Orang-orang silih berlalu di hadapanku, saling menyapa dan berbasa-basi sebagai bentuk kesopanan. Obrolan singkat mereka kurang lebih sama, hanya seperti itu.
"Boleh duduk di sini?" seseorang bertanya dalam keramaian, aku mengiyakan tanpa melihat siapa itu. Melihatnya pun aku tak kenal, ia mengenakan setelan jas hitam elegan dengan rambut yang terlampau acak-acakan. Aku bahkan tak minat untuk menghiraukannya.
Euforia antusiasme sangat kentara di raut muka setiap orang, kecuali aku. Aku masih berharap kau datang, menyapaku, dan memberiku sebuah pelukan kasih sayang.
Terlepas dari bayang imaji di benakku, aku terkesiap ketika laki-laki di depanku meraih tangan kananku. Secara reflek seharusnya aku memberontak, tetapi tidak kulakukan. Anehnya, aku merasa ada segerombolan kupu-kupu yang menari di perutku.
Ia dengan sedikit kasar menarikku untuk berjalan, tanpa melepaskan paduan tangan kami. Aku bertanya dalam hati, apa aku mengenalnya?
"Kau..." jari telunjuknya yang bebas disentuhkannya ke bibirku membuatku mengurungkan niat untuk membuka pembicaraan.
Kami menyusuri aula dalam keheningan. Tidak ada bahkan satu patah kata pun yang terucap di antara kami. Hingga sebuah lantunan lagu memaksa kami untuk berhenti.
Ini waktu untuk berdansa.
Layaknya sepasang kekasih, kami saling merengkuh dan tenggelam dalam alunan melodi klasik tak berlirik. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan tidak stabil. Dengan sangat jelas, aku bisa melihat rahangnya yang tegas nan memesona. Senyumnya sebentar-sebentar timbul, namun kemudian diurungkan.
"Bagaimana..." kata-katanya menggantung di benakku. Suaranya, sikapnya, dan senyumnya masih sama.
Ia adalah kau. Yang selama ini aku nantikan di tengah kerumunan orang.
Comments
Post a Comment