Skip to main content

Let Me Go


Jatuh cinta pada teman kecil. Sesuatu yang cliché dan bukan aku.
Tak pernah terbersit di benakku jikalau aku akan bertemu dengan temanku dari masa lalu. Benar masa lalu, karena aku sudah membuang semua memori masa kecilku dan tumbuh mengikuti aliran kehidupan ini. Namun, Sang Penguasa Alam menuliskan dalam takdirku bahwa aku akan melanjutkan kembali masa laluku. Melalui dia.
Tidak tampan, tidak pula kaya raya. Berasal dari keluarga broken home, berasal juga dari sekolah yang tak cukup favorit di kota. Hanya sebatas lelaki muda seumuranku yang tidak ada kata perfect tersangkut di kehidupannya. Bahkan, dia terkenal sering memainkan hati perempuan. Bukan seseorang yang patut didamba.
Awal pertemuan kami sangat canggung. Aku tak tahu bagaimana aku bisa mengenalinya sebagai teman kecilku. Juga, aku tak paham dia begitu ramah kepada orang yang baru dikenalnya. Aku anggap pertemuan kami ini kali pertama, jujur aku tak mau terjebak pada kenangan masa lalu yang sekarang telah berkelebat di otakku.
Hari demi hari, bulan demi bulan, semester demi semester, sudah berlalu. Untaian semangat dan selamat saling kami tuturan baik secara langsung atau melalui media-media sosial yang sedang menjadi tren. Akrab mungkin yang orang lain nilai dari kami, tak apa, tak salah.
Hingga pada suatu ketika, aku berada pada titik di mana aku ingin menenangkan diri. Segala sesuatu di hadapanku tampak rumit. Di tambah lagi percintaan teman kecilku itu yang menempatkanku pada posisi yang amat sangat salah. Namun, dia masih tak mengerti.
Dia menganggap semuanya begitu mudah dan tak perlu dipermasalahkan. Tak ada kalimat negatif yang dia utarakan kepadaku, semua kalimatnya mencoba menenangkanku. Dia berkata, “Aku akan melindungimu.” Terus-menerus. Tidak, tidak semudah yang dibayangkannya. Aku kini sudah berada di tepi jurang dan sekali lagi dia mencoba merengkuhku, hanya aku yang akan jatuh.
Pada situasi yang sangat mengerikan ini, pikiranku yang bodoh masih saja mengingat sebuah janji yang kami ucapkan bersama dengan jari kelingking kami yang bertaut. Waktu itu, tepat sebelum aku digiring ke ujung tebing. Setelah pinky promise singkat itu, aku ditempatkan di sini.
Tidak, aku sama sekali tak ingin diselamatkan olehnya, aku hanya ingin dia menjauh sehingga aku bisa dengan bebas berjalan ke depan. Tanpa terhalang olehnya. Aku menganggapnya sebuah penghalang, itu yang terjadi. Semakin dia mendekat, aku tidak akan selamat. Aku ingin dia menjauh, tapi dia tak kunjung peka dengan semua sinyal yang telah kuudarakan.
Maaf karena aku mengingkari janji yang telah kuucapkan.
Bebaskan aku.

Comments