Tidak, kali ini aku
tidak akan bicara tentang cinta. Ini hanya sebaris perasaan yang terbersit beberapa
waktu di benakku. Sekat antara kecewa, dilema, sedih, dan marah seakan memudar.
Semuanya berpacu menghantam setiap inci partikel pertahananku. Hingga cairan
bening ini menerobos sudut-sudut mataku tanpa permisi.
Tidak, aku tidak
menjadi seperti ini karena cinta, melainkan sesuatu yang lain yang kugambarkan
dengan kata “kekeluargaan”. Pada awalnya, aku benar merasakannya. Bahkan, aku
mematri kata itu setiap kali kami
bercengkrama. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, semua berjalan tanpa kendala
yang berarti. Hingga pada saatnya satu per satu dari kami mulai gugur untuk terbang bersama angin.
Tidak, aku tak merasa
kehilangan, justru aku mencintai mereka dan aku tak bisa menahan mereka untuk
pergi. Dengan sedikit bekal dari mereka, aku mencoba terus berkembang.
Meskipun, kata “kekeluargaan” itu tak lagi menjadi poin utama di dalam hatiku.
Hingga perlahan kata itu hilang tertelan keegoisanku.
Tidak, aku tidak
melakukannya demi diriku sendiri. Tapi, masih saja ini egois. Aku hanya peduli
di saat tertentu saja. Ketika panggilan itu mengharuskanku untuk datang, aku
menyempatkan walau hanya beberapa menit. Ketika aku merasa tak dibutuhkan, aku
menghilang untuk bersua dengan yang lain. Hingga aku sadar jikalau aku harus berjalan
mundur.
Tidak, kali ini aku
serius. Aku ingin mengakhirinya. Bertahan di tempat yang sudah tidak
menggantung bahkan sedikitpun kata “kekeluargaan” di dalamnya, aku sungguh tak
sanggup. Ditambah lagi, aku banyak menyimpan personal bias yang membuatku semakin membenci diriku. Hingga aku
mengakui bahwa kebencian itu semakin membuncah.
Tidak, aku tak akan
pergi, hanya saja aku tak berkeliling di sekitar. Aku hanya ingin memberi ruang
untuk diriku, menghilangkan semua kebencian kepada diriku, dan membenahi semua
perasaan yang kini tengah kalut. Hingga semua ini berjalan membaik.
Tidak, jangan
kasihani aku. Beri aku waktu. Hingga aku tahu bagaimana aku seharusnya
bertindak.
Comments
Post a Comment