Malam ini aku bertanya pada rintik hujan, “Apa yang kau rasakan setelah
menghantam tanah?” Namun, tak ada jawaban, seperti dugaanku. Aku melanjutkan, “Apakah
itu sakit?” Lagi-lagi tak ada jawaban.
Mataku masih terpaku pada butiran demi butiran air hujan yang siap
mendarat di permukaan bumi dengan kecepatan yang beragam. Ketika mereka mulai
memukulkan dirinya ke tanah, sebuah jawaban dilontarkan hujan tanpa perantara
kata.
Ya, itu cukup menyakitkan dan
melukaiku. Bayangkan saja, aku sendirian menghadapi tanah. Aku tak bersalah,
namun aku yang harus mengalah melawan tanah. Aku mengorbankan diri untuk
menjadi tetesan yang lebih kecil lagi, namun aku puas telah membuat sebuah
kecacatan pada tanah.
Aku terheran dengan sifat angkuh hujan yang seakan mengatakan bahwa
dirinya yang terbaik dibandingkan tanah. Seakan diperhatikan, hujan seolah
memperhatikanku, melihatku dengan iba untuk keadaanku.
Tidak, tidak, jangan salah
paham. Aku tak pernah berniat melukai tanah. Aku hanya melakukan apa yang
teman-temanku lakukan. Namun, kau tau, ternyata hanya aku yang disalahkan. Bisa
kau bayangkan apa yang aku rasakan?
Tanganku bergeser ingin meraih rintik-rintik itu. Ada hasrat untuk
menyelamatkannya sebelum mereka turun besua dengan tanah. Lamat-lamat aku
menjawab, “Tidak.”
Sungguh tak adil, bukan? Tapi
kau harus tahu bahwa ketika aku mengalah tidak berarti aku kalah. Kau tau,
orang-orang di luar sana mengatakan aku dewasa. Ah, tapi aku bahkan tak tahu rintik
sepertiku bisa menjadi dewasa.
“Hmm, bukankah ketika kau mengalah tanah akan semakin merasa hebat?”
tanyaku kemudian. Aku hanya ingin tahu kelanjutan dari cerita hujan.
Kelihatannya begitu. Namun,
mungkin di dalamnya mereka mengakui kemenanganku. Kau tahu, ketika aku
memercikkan diriku aku memberikan dampak ke bagian-bagian sekitar tanah. Ya,
kau bisa saja berkata bahwa aku jahat. Tapi, tanah lebih jahat.
Kami berpisah di saat itu. Dialog bersama hujan telah usai. Aku menunduk
dan bertanya pada diriku, “Bukankah aku adalah rintik hujan itu?”
Mampus
ReplyDelete