Tak ubahnya sebuah panggung
sandiwara, inilah dunia. Dengan kostum dan topeng yang berbeda-beda, mereka
berhadapan, berdialog, dan beradu. Ada kalanya salah seorang dari mereka harus
berkorban dengan mempertontonkan kesejatian diri. Terhina, marah, dan juga
dendam menyelimuti benaknya. Sebagian di antara mereka akan diam dan
menyaksikan, namun bagian lainnya akan berindak tak acuh dan terus berjalan.
“Bagaimana ini bisa terjadi?!”
Lantunan nada berisi sumpah
serapah berkelebat memenuhi atmosfer. Menggema bagai cambuk yang siap melukai
harga diri. Tidak hanya menempel pada diri si empunya dosa, tetapi juga
diperuntukkan untuk sanak saudara dan keluarga. Aku, berdiri sendiri setelah mereka
menanggung malu yang tak terhapuskan. Tak sudi menerimaku terlebih berharap
padaku.
“Mengapa tak seorang pun
berdiri disisiku?!”
Kali ini dapat kupastikan tak
ada yang mendengar, tetapi—merasakan kedatangan seseorang sudah seperti indera
keenamku—aku dapat merasakannya. Seorang pria paruh baya sedang berjalan ke
arahku. Ia bukan pria tangguh layaknya atlet tinju, melainkan seorang yang
kukenal tanpa sengaja.
Ini hanya sandiwara, kumantapkan hati untuk
berbalik. Menghadapnya dengan seulas senyum palsu. Tak sama sekali ia menarik
kedua sudut bibirnya untuk membuat lengkungan manis, ia justru menyeringai
dengan kedua alisnya yang hampir menyatu. Mungkin ia sedang menyapaku dan
memberi ucapan selamat dini hari dengan gayanya sendiri, mungkin saja.
“Bagaimana jika kita membeli
kopi di kedai seberang?” tawarnya seramah mungkin.
“Aku tidak haus, langsung saja
pada poinnya.”
“Kau benar-benar…”
Tak sepatah kata pun terucap,
hanya terdengar suara sepatuku yang beradu dengan trotoar—diikuti gesekan
sepatu kets-nya—yang mengalun bagaikan simfoni keraguan. Keringat dingin
mengucur dengan derasnya tanpa diminta. Degup jantungku semakin tak karuan,
terkadang cepat dan terkadang lambat. Langkahku yang gontai amat disadarinya,
namun ia tak bergeming, tetap berjalan di belakangku, mengisyaratkan agar aku
tak berhenti.
Perjalanan menuju kedai kopi
bagaikan mengarungi samudra, tak berujung. Lama sekali, sepertinya
kakiku tak tahan lagi menunggu hingga kedai kopi itu kupijaki, pikirku.
Akan tetapi, ternyata hanya khayalanku semata, sudah sedetik yang lalu aku
disapa si pramusaji cantik. Ia mengantarkan kami ke salah satu sudut kedai,
tempat favorit pria berjas hitam ini.
“Mengapa di saat seharusnya
manis kau tampak sangat pahit?” tanyanya setelah memesan segelas kopi.
“Ini bukan pilihan, kau yang
membuatkanku kopi tanpa gula. Kau!”
Ia terkekeh seraya terus menatapku. Jijik, aku tak pernah mengharapkan
pandangan itu. Tatapan dingin dan tajam kuhunuskan pada kedua matanya.
“Apa yang kau harapkan?” ia
mengambil napas, “reputasi yang kembali?”
Aku diam.
Pria berjas dihadapanku itu
bediri, berjalan dengan langkah mantap menuju ke arahku, dan
melayangkan tangan kanannya pada sebelah pipiku, “Bermimpilah, kau perempuan
tak tahu diuntung!”
Comments
Post a Comment