Skip to main content

Beraksi dengan Nyata


Terik matahari terserap korsa hitam yang tengah kukenakan, menembus masuk ke setiap inci kulitku. Sensasi terbakar tak ayal sebuah bualan, kali ini benar. Namun, di seberang sana Okan masih saja semangat dalam mengutarakan opininya. Aku tak habis pikir dengannya, di cuaca yang sangat panas seperti ini justru membuat semangatnya semakin menggebu untuk menyuarakan pembebasan.
“Gimana, Sya?” tanyanya setelah semua orang selesai membereskan atribut-atribut aksi. Ia kemudian menyodorkan botol minum yang isinya tinggal setengah. Alih-alih menjawab, aku dengan sigap meraih botol minum itu dan menegak isinya. Setelah hanya menyisakan sedikit air di dalamnya, aku menutupnya diiringi kekehan Okan.
“Gila ya, panas banget. Kok kamu betah banget sih ikutan demo-demo kayak gini?” cerocosku.
Lagi-lagi Okan terkekeh dan segera memberikan tanda untuk pulang. Ternyata Okan tidak langsung membawaku menuju kosanku. Ia justru membawaku ke salah satu café yang tak jauh dari tempatnya tadi berorasi. Kami kemudian memesan dua gelas latte ekstra es dan memilih meja di bagian luar café.
“Aku ngrokok ya,” izinnya seraya mengeluarkan bungkus rokok dan pemantik api. Aku mengangguk, meski aku tak mengizinkan pun ia akan tetap menyulut rokoknya dengan api. Okan menurunkan rokoknya dan menyesap lattenya perlahan kemudian membuka mulut, “Aku koreksi ya, bukan demo tapi aksi.”
“Oke,” aku mengalah tak mau memperpanjang masalah dengan hal yang tak krusial seperti ini.
“Kamu tau nggak sih peran mahasiswa?”
“Jadi agen-agen itu ya?” aku tak ingat jelas apa tugas mahasiswa hanya bagian agennya saja yang terlintas.
Ia tertawa, tetapi cepat-cepat membenarkan, “ Agent of change, social controler,…”
“Kan, benang merahnya aja udah,” sergahku tak sabar.
“Dengan aksi-aksi yang selama ini aku ikutin itu aku bisa berperan sebagai mahasiswa, selain itu aku di situ bangun relasi dan afiliasi, juga belajar mengutarakan opini yang based on kajian. Fyi aja nih, aksi kayak gitu berdampak lumayan signifikan apalagi kalau udah di blow up media.”
“Oke aku setuju, tapi kenapa sih harus teriak-teriak gitu? Tinggal kasih aja tuh press release ke media, nggak usah pake aksi-aksi segala.”
“Sebenernya ya Sya, ketika kita udah turun ke jalan secara nggak langsung kita menyatakan ketidaksetujuan kita dan sebagai langkah konkrit kita untuk mengubah keadaan.”
“Emang semua yang dikaji mahasiswa itu udah 100% bener?”
Okan menyesap rokoknya dan semburan asap berhamburan, “Nope, bahkan kadang kita salah, tapi nggak apa-apa at least kita mengutarakan pendapat kita di negara demokratis ini.”
Diam-diam aku mengiyakan pernyataan Okan. Meskipun beberapa isu yang dikaji terkesan amat sangat dangkal dan plin plan, mengutarakan pendapat dilindungi oleh negara. Sebagai mahasiswa pun masih perlu belajar lebih banyak karena kami notabene masih adalah siswa.
Okan menatapku curiga tatkala aku sedang tergerus dalam lamunanku sendiri menganai peran mahasiswa seharunya. Ia kemudian menjentikkan jarinya di depan mataku seraya berkata, “Jadi? Tertarik ikutan lagi kan, Sya?”
Aku terkesiap dan segera mencerna kata-katanya. “Mungkin, tergantung isu apa yang sedang diaksikan. I’m not into political issues.”
Mendengar jawabanku, Okan menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman manis nan singkat, “We’ll see, it’s your right to decide.”
Seperti kata Okan, setiap orang memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya melalui cara apapun. Demo bukan satu-satunya cara untuk aksi, namun turun ke jalan juga bukanlah hal yang patut dipandang buruk karena nyatanya berdampak sedikit banyak untuk perubahan.
Kami tenggelam dalam lamunan masing-masing. Okan masih menyesap rokok dan lattenya, sedangkan aku memandanginya dan diam-diam berterima kasih telah dikenalkan pada dunianya yang sangat asing bagiku.

Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar.
Bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan negeri.

Image source: http://bit.ly/DemoMahasiswa

Comments