Di salah satu persimpangan jalan di kota ini, aku terbiasa menunggu. Semakin hari apa yang kutunggu bayangannya semakin pudar. Otakku sudah perlahan menghapus bagaimana sosoknya dilukiskan. Meski begitu, aku tetap akan datang, setiap pukul 8 pagi di mana semua orang tengah bergegas untuk menuju tempatnya bekerjanya masing-masing. Aku akan mengamati setiap orang hingga 30 menit berlalu. Hari ini, seperti biasanya, ia tak datang, tak menampakkan batang hidungnya sama sekali.
“Bian, pukul 8 pagi di persimpangan ujung jalan sana,” katanya petang itu lepas kami menghabiskan 2 gelas kopi seduh di warung pinggir jalan.
“Ada apa?” tanyaku tak paham dengan perkataannya.
Namun, pertanyaan itu hanya digantungkan begitu saja. Ia beranjak dari tempatnya duduk yang tepat di seberangku. Kemudian, jemarinya lamat-lamat mengusap rambutku. Tak sampai puluhan detik, ia bergegas keluar dengan langkahnya yang cukup lebar.
Keesokan harinya, aku bergegas ke persimpangan jalan. Arlojiku masih menunjukkan pukul 7.56 ketika aku sampai. Orang-orang silih berganti berjalan di hadapanku, aku mencoba mencari sosok yang meninggalkanku begitu saja malam kemarin. Aku tak mempedulikan arlojiku yang terus berdetak, hingga sosok itu kembali muncul di hadapanku dan tersenyum.
“Kau sudah menunggu lama?” tanyanya seraya meraih sebelah tanganku.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng perlahan. Tanganku memaksa menautkan tangannya, aku tak mau lagi berpisah darinya, barang sedetik pun.
Di tengah hiruk-pikuk persimpangan di pagi hari, kami menyeberang jalan dengan hati yang gembira. Merasa tak ada orang lain yang berjalan di sekeliling kami. Penyeberangan jalan yang tidak begitu panjang, terasa sangat lama. Hingga semuanya berhenti tiba-tiba karena terjangan sebuah bus.
“Bian, jangan lupakan hari ini,” katanya seraya kami terkapar di atas aspal.
Alih-alih menanggapi pernyataannya, aku hanya mengangguk singkat.
Semua bayangan tentang hari itu berkelebat lagi meskipun aku sudah tak benar-benar ingat bagaimana semuanya terjadi. Aku masih memandangi setiap orang yang berjalan di persimpangan itu, masih berharap sosoknya akan muncul kembali. Namun, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, aku terkesiap dan menoleh. Laki-laki tua itu tampak sangat khawatir dengan napasnya yang tersengal-sengal.
“Nak, kenapa kamu ke sini lagi?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Aku dimintanya ke sini,” jawabku jujur.
Laki-laki itu membawa lembaran berwarna-warni di tangannya. Setelah kuperhatikan cukup lama, laki-laki itu segera menyembunyikannya dengan meremas lembaran-lembaran itu di dalam kepalan tangannya. Entah mengapa, aku berusaha keras merebutnya dari tangannya.
Lembaran itu, ada fotoku di dalamnya. Dicari, Bianca Webster, mengalami gangguan kejiwaan, meninggalkan rumah sejak 5 hari yang lalu, apabila bertemu harap melaporkan ke kepolisian terdekat.
Comments
Post a Comment