Mengawali kembali bulan Februari, namun di tahun yang baru terasa
berbeda bagi Fey jika dibandingkan dengan Februari di tahun-tahun sebelumnya.
Meskipun masih ada deadline yang mengejarnya seperti tahun-tahun sebelumnya,
kali ini Fey tidak menganggapnya beban yang berat. Fey masih terpaku pada layar
di hadapannya. Jemarinya dengan gemulai menekan alfabet membentuk rangkaian kata
yang bersatu dalam kalimat.
Kalimat demi kalimat yang diketiknya sedikit demi sedikit menceritakan
sebuah berita yang kini tengah dibicarakan banyak orang. Hanya perlu tak sampai
satu jam, Fey sudah menyelesaikan rubriknya. Sebuah e-mail yang dilampirkan berita di dalamnya kemudian disubmitnya kepada sang pimpinan redaksi.
Tak menunggu lama, sebuah e-mail
dengan satu kata di dalamnya telah diterima. Accepted. Fey menghela napas panjang yang diiringi dengan bunyi klik ketika laptopnya ditutup. Ia
beranjak dari tempatnya duduk dan menegak segelas air. Gumaman lagu favoritnya
meluncur begitu saja dari bibirnya. Begitu selalu ketika Fey telah
menyelesaikan pekerjaannya setiap hari.
Ponselnya berdering, Fey terburu-buru menyambar ponsel yang
tergeletak manis di atas meja kerjanya. Ternyata bukan sebuah panggilan,
melainkan pesan singkat dari pimpinan redaksinya.
“Ada workshop di
Yogyakarta, pergilah.” Tulisnya, tidak ada pesan lainnya.
Fey masih menatap notifikasi itu, bahkan intensitasnya dalam
berkedip semakin berkurang. Hatinya masih menimbang apakah ia harus bahagia
dengan pesan singkat itu atau ia harus buru-buru mendelegasikan orang lain
untuk menggantikannya. Jemarinya menyentuk notifikasi itu menandakan ia harus
segera memutuskan.
“Saya tidak bisa pergi, Pak.” Tulisnya kemudian.
Sebelum mengirimnya, ia menghapusnya, dan mengetik, “Baiklah, saya
akan berangkat.”
Keretanya berangkat malam ini, Fey hanya membawa satu tas ransel
kecil yang menggantung di pundaknya. Isinya hanya laptop, kamera, ponsel, dan
satu setel pakaian formal. Ia siap berangkat kapan pun. Disimpulnya tali
sepatunya dan Fey siap melangkah menuju stasiun.
Fey tertidur pulas hingga informasi mengenai kedatangannya di
Stasiun Tugu diinfokan melalui pengeras suara. Semua orang di sekitarnya tengah
sibuk menurunkan barang, porter-porter masuk ke dalam gerbong dan berusaha
mencari orang-orang yang hendak dibantu. Fey menyempatkan diri melongok ke
arlojinya, pukul setengah 6 pagi. Ia bergegas mencari kamar mandi terdekat
untuk bersiap menuju workshop.
Dengan setelan formal, Fey melangkah keluar dari stasiun. Udara
Jogja yang dulu pernah menjadi udaranya sehari-hari sangat berbeda dengan udara
Jakarta yang sudah biasa dihirupnya kini. Sekelebat kenangan terlintas di benak
Fey, terlebih ketika laki-laki itu dulu membawa Fey berkeliling Malioboro,
alun-alun, dan keraton. Juga bagaimana Fey hendak menyematkan cincin pada
laki-laki itu, namun semuanya berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah Fey
harapkan. Laki-laki itu meninggalkannya untuk selamanya.
Fey tersenyum miris mengenangnya, air matanya perlahan jatuh.
Buru-buru ia melupakan sesuatu di Jogja itu dan bertolak menuju hotel di mana
ia harus mengisi workshop
kepenulisan.
Comments
Post a Comment