Selembar kertas folio lusuh bersandar pada dinginnya meja kaca di
hadapanku. Sedari tadi aku mengisinya dengan guratan tinta dari beberapa alat
tulis yang berbeda. Kali ini tugas meringkas tengah digalakan oleh dosenku pada
hampir setiap mata kuliah yang kuambil. Sambil menyalin apa yang telah
kuberikan highlight dari buku pengantar, lamat-lamat kertas
folio itu terisi hingga barisnya yang terakhir.
Belum sempat aku mengumpulkannya, satu pesan masuk. Dari seorang
teman yang juga tengah mengambil mata kuliah yang sama denganku. Dengan singkat
ia berkata, “Boleh aku liat pekerjaanmu?”
Aku mengangguk meskipun aku tahu ia tidak akan bisa melihat
anggukan itu. Kemudian, aku mengirimkan foto dari folio lusuh tersebut,
tentunya setelah aku mengumpulkannya via daring. Tak sampai beberapa menit, ia
membaca pesan tersebut. Dan tak sampai lima detik, satu pesan lagi masuk,
“Terima kasih banyak.”
Membacanya membuatku tersenyum. Entah mengapa, tapi aku merasa
sesuatu tengah memenuhi hatiku. Tidak, bukan sesuatu yang seperti itu, tetapi
sesuatu yang menggambarkan perasaan senang karena telah membantu orang lain.
Namun, semua kesenangan itu tiba-tiba terbentur oleh pemikiranku
sendiri. Bayang-bayang pembicaraanku bersama beberapa orang terlintas entah
dari mana. Salah satunya malam itu, perbincangan yang tidak direncanakan itu
membuatku berpikir kali ini.
“Kenapa kamu mau membagikan tugasmu ke orang lain?” tanya seorang
teman.
Aku membelalakkan mata seolah tak percaya bahwa itu adalah hal
yang special, “Ada yang salah?”
Ia menggeleng dan menjawab, “Nope, tidak semua orang mau
membagikan tugas yang sudah semalaman ia kerjakan dengan penuh effort.”
Aku paham sekarang ke mana perbincangan ini akan diarahkan. Bagi
beberapa mahasiswa akan sangat berat ketika ada teman sekelas yang meminta
jawaban atas tugas yang diberikan dosen, ketika teman tersebut dianggapnya
kompetitor. Tetap saja, aku tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memang
berprinsip menganggap teman-teman sekelasnya adalah kompetitor karena pada
kenyataannya indeks prestasi akademik masih sangat dipandang sebagai poin utama
dalam kelulusan. Namun, mungkin aku yang terlalu naïve dan belum pernah
sekalipun berpikir bahwa teman-teman kelasku adalah kompetitorku.
Pernah sekali aku mengambil kelas ekonomi yang membuatku jenuh
karena sang dosen mengatakan hal yang sama setiap temu kelas. Berbuat
yang terbaik untuk mencapai happiness, katanya. Ternyata, secara tidak
sadar itu yang sebenarnya membawaku untuk tetap berbuat baik. Terkadang
happiness bukan soal seberapa tinggi indeks prestasi akademik, mungkin bagiku
happiness adalah tentang sesuatu yang bisa kulakukan kepada orang lain.
Belum lagi dikuatkan dengan golden rule yang
pernah dikatakan seorang dosenku lainnya. Kalau tidak mau dicubit,
jangan mencubit. Sejalan dengan perkataan beliau, aku percaya dengan
berbuat baik kepada orang lain, orang lain juga akan berbuat baik kepadamu.
Sekecil apapun tindakan baik yang dilakukan, itu tak mengapa yang penting
adalah niat baiknya.
Comments
Post a Comment