Dari
atap gedung ini aku bisa menyaksikan semesta tengah menyampaikan pesannya.
Angin bertiup kencang hingga reklame-reklame di bawah sana hampir saja roboh.
Pohon-pohon yang berada di tepian jalan terhuyung mengikuti laju angin. Satu
per satu guguran daun yang tak bisa bertahan di dahan meninggalkan empunya dan
bergumul dengan angin. Pun dengan aku yang beberapa kali lepas kendali dan
turut terhempas. Namun, aku berusaha bertahan.
Mungkin
orang-orang akan menganggapku gila karena masih berada di luar ruangan di
tengah cuaca yang seperti ini. Cuaca yang menandakan bahwa badai akan segera
melanda. Tapi, aku di sini untuk bertemu dengan seseorang yang telah kutunggu
sejak tahun lalu. Hari ini, sepertinya ia akan datang.
Dentuman
air hujan dengan sigap menghujam setiap permukaan di bawahnya, tak terkecuali
dengan diriku yang masih bertahan di atas atap gedung ini. Tetes demi tetesnya
lama-kelamaan cukup untuk membuat basah. Hingga pada akhirnya semuanya telah
tertutupi oleh air hujan yang semakin beringas menghantam semua benda di
sekitarnya.
Aku
menutup mata dan berdoa, “Aku masih yakin kau datang bersama hujan.” Aku
menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Hujan di bulan di mana hujan
seharusnya tidak turun.”
Perlahan,
aku memaksa kedua kelopak mataku untuk terbuka, kemudian mengedarkan pandang.
Benar
saja.
Seseorang
yang aku dambakan tengah berdiri di salah satu sudut atap gedung. Lengkap
dengan payung merahnya yang legendaris. Ia menggunakan setelan jas hitam
seperti seorang aktor yang siap menghadiri gala. Karena menyadari aku
menatapnya dengan penuh kebahagiaan, ia tersenyum kemudian berjalan menuju ke
arahku. Ketika jarak kami semakin dekat, ia berusaha menaungiku dari hujan
dengan payung merahnya.
Tak
ada sepatah kata yang diucapkannya, aku pun. Namun, kami sama-sama tahu bahwa
kami memiliki rasa yang sama.
Comments
Post a Comment