Skip to main content

Let me tell a story about my crush.

Masih jelas bagaimana pertama kali aku bertemu dengannya. Siang itu di bawah teriknya matahari, aku berada persis di depannya, bahkan sesekali ia bertanya mengenai apa yang tengah dibicarakan co-fasilitatorku di depan sana. Wajar, karena kami duduk di barisan belakang dan kurang bisa mendengar apa yang kedua co-fasilitatorku sampaikan untuk keperluan orientasi mahasiswa beberapa hari lagi.

Pada saat hari pertama orientasi mahasiswa dilaksanakan, kami duduk bersebelahan. Lagi-lagi bukan karena kesengajaan, tetapi kami termasuk golongan mahasiswa yang sering terlambat hadir di kelas sehingga hanya kursi di depan yang masih belum ditempati. Ia tak mengajakku berbincang selama kelas, kami lebih banyak memperhatikan dan berbicara kepada satu sama lain seperlunya. Namun hari itu, aku banyak mengenal tentangnya, termasuk di fakultas mana ia akan belajar nantinya.

Aku mendefinisikannya sebagai crush, seseorang yang tak mungkin kamu akan bersamanya, tapi kamu jatuh hati padanya. Aku tak mengerti apa yang spesial darinya, tapi ia mengingatkanku akan seseorang dari kelas sebelah selama aku di sekolah menengah atas. Ia tak banyak bicara, bahkan co-fasilitatorku pun berusaha memantiknya untuk berbicara beberapa kali. Ia bukan orang yang aktif selama masa orientasi, lebih menjadi pengikut di setiap games dan sesi.

Karena menurutku ia sangat pasif, beberapa kali aku mengajaknya berbincang, menggunakan topik-topik kehidupan sehari-hari yang mungkin bisa membuatnya lebih terbuka. Namun, itu pun tak berbuah banyak. Tak kehilangan cara-cara cerdas, aku mencoba meminta tolong seorang temanku yang lebih mudah akrab dengan orang lain, ya dia partner in crime-ku selama orientasi mahasiswa. Beberapa kali melalu partner in crime-ku, aku mencari tahu tentangnya.

Masa orientasi mahasiswa nyatanya sangat singkat. Pada hari penutupan masa orientasi, semua orang mengabadikan foto. Pun denganku. Entah apa yang terbersit dalam benakku, aku mengajak semua orang berfoto bersama, termasuk ia. Aku tak ingat bagaimana caraku mengajaknya berfoto, tapi foto itu sudah ada di ponselku. Dengan pose yang standar dan sama-sama tersenyum, foto itu diabadikan. Meskipun itu bukan foto terbaik, setidaknya foto itu menyimpan memori yang bisa kuingat lagi.

Selepas masa orientasi, kami beberapa kali mengadakan reuni kelas orientasi. Sudah dapat ditebak, ia tak pernah datang. Bahkan, ia tak pernah membalas di grup chat. Ia pun tak memiliki media sosial seperti kebanyakan orang yang terang-terangan memperlihatkan media sosialnya kepada dunia dengan nama lengkapnya.

Rasa penasaranku yang membuncah membuatku melakukan pencarian tentangnya melalui teman-temanku yang satu fakultas dengannya. Dan aku menemukannya. Teman-temanku memberikan laporan tentangnya dan apakah mereka berada di kelas yang sama dengannya atau tidak. Kebohodohanku tidak sampai sana saja, aku pernah sit-in di salah satu mata kuliah di fakultasnya yang tengah ia ambil. Lagi-lagi ia terlambat ketika aku telah duduk di baris dekat pintu bersama seorang teman sekolah menengahku. Pandangan kami berserobok untuk beberapa detik dan matanya mengisyaratkan pertanyaan, “Kamu kok di sini?” Selama satu jam kami berada di ruangan yang sama. Namun selepasnya, kami sama sekali tak bertegur sapa, seperti orang yang tak pernah saling kenal.

Kali terakhir aku melakukan hal bodoh, aku meyakinkan diri untuk tidak melakukannya lagi. Tapi masih saja aku bertanya bagaimana keadaannya melalui teman-temanku yang beberapa kali bersinggungan dengannya. Ia masih sama, pasif dan lebih banyak diam. Bahkan teman-temanku tak tahu dia mengikuti organisasi apa. Pun dengan orang-orang yang dekat dengannya, hanya segelintir.

Bagiku cukup untuk mengaguminya dari jauh, mungkin mendoakannya untuk terus bahagia.

Comments