Skip to main content

At least they've survived for this day.

 

Seorang lelaki tua tengah mendorong gerobaknya di salah satu jalan utama kota wisata ini. Dagangannya masih tertumpuk dengan rapih seperti belum ada pelanggan yang menyentuhnya. Tidak tampak adanya kehidupan malam yang biasanya gemerlap di sini. Ia biasanya mendapatkan puluhan pelanggan sebelum pandemi mulai menyerang dan tentunya sebelum para wakil rakyat di kantor gedongan sana membuat aturan yang mewajibkan orang-orang untuk melakukan segala aktivitasnya di rumah saja.

Hatinya ketir dan takut kala-kala para penegak hukum akan menemukannya masih berkeliaran di atas jam malam yang telah ditetapkan. Namun, ia lebih khawatir jika tidak membawa barang selembar uang recehan untuk keluarganya di rumah. Peluhnya beberapa kali turun dari ujung rambutnya mengenai masker yang tengah erat ia gunakan. Dengan tenaga yang tersisa, ia terus berjalan bersama gerobaknya dan sesekali membunyikan bunyi-bunyian yang menandakan akan adanya dirinya. Entah sudah berapa jam ia berjalan, tak satu orang pun memanggilnya untuk membeli dagangannya.

Sesosok anak laki-laki menghentikan langkahnya. Dengan bajunya yang kumal, rambut yang berantakan, dan masker lusuhnya, anak laki-laki itu menatap si lelaki tua penuh harap untuk mendapatkan belas kasihan.

“Adek, kenapa sendirian?” tanya si lelaki tua seraya berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka.

“Saya lapar, Pak. Boleh saya minta satenya?” alih-alih menjawab pertanyaan si lelaki tua, anak itu memandangi gerobak sate yang kini berada di hadapannya.

Lelaki tua itu tidak tega melihat si anak laki-laki yang bahkan ia tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Ia menyalakan alat bakarnya dan mulai memasak daging-daging ayam yang telah tertusuk dengan rapih. Beberapa tusuk sate ia berikan secara cuma-cuma kepada si anak laki-laki. Mata mereka berbinar, merasakan kebahagian yang berbeda.

Namun, kebahagian mereka tak bertahan lama. Beberapa petugas yang melakukan patroli datang lengkap dengan seragam ala penegak hukum di negara ini. Bahkan, beberapa petugas membawa persenjataan lengkap yang dilapisi penutup.

“Selamat malam, Bapak!” seru salah satu petugas dengan nada yang cukup tinggi.

Rasa gugup dan takut meliputi setiap inci pertahanan yang dimiliki si lelaki tua. Ia mencoba menaikkan pandangan menatap petugas yang memanggilnya. Matanya menyiratkan ada penyesalan di sana, tetapi ia menguatkan dirinya sendiri.

“Iya… Selamat malam, Pak,” timpalnya terbata.

“Bapak tahu kan ini sudah lewat jam malam, Bapak seharusnya pulang.” Dengan tegas, petugas itu memberikan peringatan yang sudah diduga oleh si lelaki tua.

“Pak, tapi keluarga saya butuh uang… dan saya sampai sekarang belum mendapatkan uang sepeser pun,” si lelaki tua mencoba menjelaskan.

Adu argumen mulai terjadi antara petugas dan si lelaki tua. Hingga pada satu titik, salah seorang dari petugas mengeluarkan uang dan membeli puluhan tusuk sate yang dijual si lelaki tua. Setelah membungkus sate-satenya, ia segera memenuhi permintaan petugas untuk pulang ke rumah. Ia senang bukan main hingga ia bahkan tak tahu si anak laki-laki yang tadi ia beri makan berada di mana.

Si lelaki tua mendorong gerobaknya menuju rumah kecilnya di mana keluarganya tengah menunggu. Meski ia bahagia dengan pendapatannya malam ini, ia merasa bingung akan apa yang telah terjadi karena besok ia tidak mungkin mengandalkan petugas lagi untuk mendapatkan uang. Namun, untuk saat ini setidaknya ia punya uang untuk mencukupi keluarganya.

Comments