Skip to main content

A conversation about insecurity



“Have you ever felt insecure while scrolling down linked in or swiping right instagram stories or any other social media?” tanyanya waktu itu.

Of course. But I hesitated to admit, instead, I said, “Em… siapa sih yang engga pernah insecure kalau liat sosmed?”

“Right, insecure normal kok, ngerasa iri sama pencapaian orang lain juga normal. Mikir ‘kenapa ya kok dia bisa sesukses itu padahal kayaknya aku lebih pinter daripada dia’ itu juga normal thing. Apalagi sekarang media sosial lagi gencar banget, when you don’t have anything to be share and to flex, pasti langsung insecure.”

“Manusiawi, kan?” sergahku.

“Yup. Manusiawi banget. Karena di dunia ini, kita sama-sama lagi berjalan. But, kita jalan di jalan kita masing-masing, jadi kesuksesan orang lain mungkin memang bukan jalan kita, right?”

“Iya emang, but sometimes kesuksesan orang lain itu pressure aja buat aku. Ngerasa ga sih, kayak mikir ‘gamau tau pokoknya nanti aku harus lebih sukses dari dia’ padahal ya sebenernya apa yang dia share di story atau apapun itu harmless buat aku dan bahkan nggak nyinggung aku. But see in my case, kayak aku sekarang nganggur dan temen-temenku udah kerja. Atau gini deh flashback waktu kemarin aku masih skripsian sedangkan temen-temenku udah pada lulus. If you were me, would you still be chill out?”

“Let’s make a big picture, setiap tujuan pasti ada prosesnya, banyak faktor di dalamnya. Misal nih kamu udah apply kerja sana sini tapi tetep aja engga ada panggilan kerja. Atau kamu udah revisian sampai jungkir balik tapi tetep aja masih engga di acc dosen pembimbing. Itu faktor eksternal yang kita nggak bisa kontrol, all we have to do is keep trying. Once you quiting, you won’t get anything. You believe in fate kan? Allah knows what is the best for you and when it’s the best for you to have it.”

“Tapi kadang that kind of factor itu yang bikin kita makin insecure and think about ‘what if’…”

“I know emang berat banget ketika kamu terpuruk tapi kamu lihat orang lain bahagia. Tapi kamu kan juga gatau keterpurukan orang lain. They just share about happiness in social media, Nad. Keliatannya semua jalannya lancar dan mulus, but you don’t know the whole story.”

“Sebenernya FOMO aja sih, misal nih kita ngumpul bareng terus pada bahas kerjaan, aku ga relate. Dulu waktu aku masih skripsian dan temen-temenku udah pada lulus, aku pun ga relate karena temen-temenku yang lulus udah pada cari kerja. Endingnya sampai rumah aku bakal nangis dan mikir ‘gila ya temen-temenku keren banget, sedangkan aku nothing’. Terus mungkin seminggu setelahnya aku bakal overthink dan asam lambungku kumat lagi.”

Dia tertawa getir, “Asam lambung mah emang penyakit yang kamu buat sendiri karena kebanyakan overthink. Coba deh liat dari sudut pandang temen-temenmu, maybe they think ‘enak banget ya Nadhifa nganggur; bunuh waktu cuma untuk nontonin netflix, disney hotstar, viu, wetv, dan temen-temennya; masih bisa check out shopee minta Mama; nggak diburu-buru untuk jadi financially independent’ bisa jadi, kan.”

“Em… sebenernya rada aneh sih kalau iri sama aku…” jawabku diiringi tawa yang dipaksakan.

“Lah, kamu kan engga tau isi hati orang lain, nggak ada yang engga mungkin. Tapi poin yang kamu omongin bener tau, mereka juga mungkin mikir ‘kayaknya orang-orang nggak akan iri sama aku’. Mereka juga nggak tau kan kalau kamu insecure karena mereka kalau kamu nggak bilang ke mereka?”

“Iya juga sih…”

“Gini deh, it’s okay sometimes kamu mikir temen-temen kamu superior, tapi pernah nggak mikir gini: emangnya kamu melakukan hal yang exactly sama dengan dia yang bikin kamu insecure? Apa kamu dari background yang sama? Apa kamu tau step by step yang dia tempuh untuk gain their successes? Apa kamu punya pikiran yang sama persis sama dia?”

“Em…”

“Even you two have different fingerprints, Nad. But beneran deh, we have our own paths and your path will be exactly different from your friends. Kamu engga harus sama kayak temenmu. Kamu ya kamu, kamu bukan temenmu. You’re the one who can decide which path you will get through.”

“I’m trying.”

“Well great then, just remember that you’re doing this for yourself, not to impress others. Kalau bisa menginspirasi orang lain itu cuma poin plus aja, bukan core dari perjalananmu.”

Aku menyudahi percakapan kami setelah mengucapkan terima kasih telah mau mendengarkan unek-unekku.

Comments