Skip to main content

Before the Raindrops

Secangkir kopi hangat tersaji di hadapanku, tetapi sama sekali tak tertangkap perhatianku. Untaian kata itu saja yang masih kupikirkan. Menggema terus-menerus, terlebih ketika rasa rindu mulai tak terhapuskan. Kali ini aku tidak merindukannya, justru ingin membuangnya jauh-jauh. Kau tahu, aku tak bisa. Sesuatu yang benar-benar tidak mungkin terjadi, bahkan sampai kapanpun.

Aku sedang mendustai diriku sendiri, lebih tepatnya hatiku. Berharap dalam kenangan kelabu yang tidak akan berubah menjadi penuh warna. Sebut saja harapan kosong. Ditambah dengan rasa pesimis pelingkup diri. Sungguh, perilaku terfatal yang pernah kulakukan.

It’s over!” pekikku waktu itu.

Ia menatapku dengan penuh penyesalan, tidak ada raut kebohongan darinya. Air mata yang mengucur juga mencabik-cabik hatiku. Aku merasa lebih sakit ketika ia tersakiti, tapi aku tetap saja kukuh berada di kubu seberangnya.

Seorang laki-laki—remaja—menangis.

Aneh memang. Tidak biasanya seorang laki-laki menangis, tetapi ia menangis dihadapanku. Menyesal dengan segala yang telah diperbuatnya, yang kusebut merusak kehidupan kami. Ingin rasanya memaafkannya dan memberinya sedikit kekuatan yang sedang kupunya. Namun, itu dapat kupastikan tidak terjadi.

“Aku minta maaf, aku bersalah, aku mengacaukan semuanya.”

Tidak kujawab, hanya berlalu menuju kafe. Memesan secangkir kopi dan belum menyesapnya sedikitpun.

 

Selesai.

Comments