Potret sang kekasih menghiasi setiap sisi kamarnya. Namun, sebentar lagi pasti akan dilepasnya. Betapa tergores hatinya ketika mendapatkan surat pernikahan sang kekasih. Bukan sesuatu yang pernah diduga, tetapi tetap saja terjadi. Pengkhianatan terfatal yang pernah dilakukan padanya. Menurutnya, itu cukup untuk mematahkan jiwanya, semangatnya, untuk sesaat.
Berkaca dengan segenap hatinya, ia memandangi rambut coklatnya yang luar biasa tidak teratur, bisa mencuat ke segala arah. Matanya berkantung layaknya seseorang pencandu obat-obatan terlarang, tetapi jelas tidak. Terdapat dua lebam yang dengan mudah dilihat, satu di ujung sudut bibirnya dan satu lagi di pipi kirinya. Benar saja, baru semalam ia memburu calon suami sang kekasih. Ia berharap bisa mengobati luka hatinya, tetapi pukulan yang lebih menyakitkan yang didapatkannya. Satu hal yang kutahu, calon suami kekasihnya adalah seorang atlet bela diri.
“Masih memandangi si mayat hidup?”
Ia menoleh dan menyunggingkan sebuah senyum sinis. Namun, aku justru mengeluarkan gelak tawa yang cukup lantang. Bukan mengejeknya, hanya mau menyadarkannya dari keterpurukan.
“Lebih baik kau turun ke jalan dan mencari wanita lain,” saranku seraya duduk berseberangan dengannya di tempat tidur.
“Bagaimana jika kau saja?” suaranya gemetar, tetapi penuh penekanan, “Aku tidak perlu repot-repot mencari wanita-wanita murahan itu sebagai pelampiasan.”
“Hah?” kuhela napas panjang dan melanjutkan, “Kau gila, aku bukan bagian dari mereka.”
“Tingkatkanlah rasa humormu, aku hanya sedang bercanda.”
Ia tertawa penuh kemenangan, selalu saja begitu. Matanya lantas menemukan mataku dan beradu untuk sepersekian detik, tetapi sesegera mungkin mengalihkan pandangan pada foto-foto yang menempel di dinding kamarnya. Tak membutuhkan waktu yang lama, dengan dirinya sendiri, ia mampu melepas semuanya dan memasukkannya ke sebuah kotak. Sama sekali ia tak mengizinkanku untuk memegangnya, tak ingin ada orang lain yang tersakiti, jawabnya ketika aku bertanya mengapa.
“Akan kau larung?”
“Hal bodoh,” gumamnya, “aku akan membuangnya atau bahkan membakarnya.”
“Aku rasa kau sudah baikan, aku pergi sekarang.”
It hurts, though.
ReplyDeleteaku gak paham TT
ReplyDelete