Tak pernah kusangka sebelumnya, aku akan mendapatkan seorang kakak yang benar-benar membangun sekat di antara kami. Belum tahu apa alasan di balik terciptanya tembok pembatas yang cukup tinggi itu, tetapi aku berasumsi jika kakakku amat membenciku. Aku dengar ia adalah seorang pendendam, jujur saja aku tidak tahu sebelumnya. Namun, seberapa keras aku berusaha untuk berpikir positif tentangnya, tumbuh perlahan rasa takut, gelisah, dan was-was dalam hati dan pikiranku.
“Janganlah kau terlalu keras pada adikmu,” suatu hari aku pernah mendengar Ayah menasihati kakakku. Namun, ia sama sekali tak menghiraukannya, ia malah meninggalkan Ayah begitu saja di ruang keluarga. Raut mukanya menunjukkan rasa kecewa yang sangat dalam ketika ia pergi. Aku sama sekali tidak paham dengan semua ini, mengapa ia membenciku?
“Apa akan selamanya?” tanyaku seketika kakakku pergi.
Ayah menoleh ke sumber suara dan seulas senyum mengembang. Seakan telepati di antara kami sedang bekerja, beliau menjawab, “Kakakmu orang yang baik, ia hanya ingin mendidikmu agar menjadi orang yang kuat, bukan hanya menjadi anak manja yang berlindung di bawah naungan orang tua.”
“Mengapa?”
“Karena ia kakakmu,” timpal Ayah, “ia menyayangimu, ia ingin melindungimu dari kehidupan dunia yang lebih kejam. Kau tau tidak? Lebih banyak orang yang lebih mengerikan dibandingkan kakakmu. Nantinya, ketika kau dewasa kelak, kau akan sangat berterima kasih kepada kakakmu.”
Dengan perasaan sedikit bingung, aku berniat untuk menghirup udara segar di luar rumah. Ketika aku melangkahkan kaki kananku turun ke halaman depan rumah, di sanalah kakakku. Ia duduk di bebatuan dan menghadap ke kolam ikan—membelakangiku. Dari jarak yang tidak begitu dekat, aku bisa melihat punggungnya bergerak naik turun. Asumsiku selanjutnya—berdasarkan pengalamanku—ia sedang menangis.
Nekat, aku mendekatinya dan berdiri beberapa meter saja di belakangnya. Entah apa yang terpikirkan olehku, aku hanya mematung mendengarnya sesenggukan. Ia merutuki cerminan dirinya yang terpantul dari kolam, “Kau gagal, bagaimana bisa? Kau benar-benar mengecewakan dan bukan contoh yang baik. Jika kau saja seperti ini, bagaimana adikmu? Bodohnya kau ini!”
Adikmu? Apakah itu AKU?
“Maaf,” ucapku usai tangisannya mereda. Sontak, ia menghapus air matanya dan menoleh. Matanya berkantong, hidungnya merah, dan bekas-bekas air mata masih saja terlihat. Dengan bibir yang terkatup, ia menepuk bahuku beberapa kali. Aku tahu itu isyarat seseorang dalam menyemangati orang lain. Aku terseyum dan melanjutkan, “Terima kasih, aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu mengingat seberapa besar kau memperhatikanku. Kau bersikap seperti itu kepadaku demi kebaikanku, lewat sikapmu itu kau sedang mengajariku untuk lebih kuat.”
Selamat berjuang, semangat! (^^)9
;A; kakak idaman ;))
ReplyDelete