Skip to main content

Behind the Scene


“Aku masih harus berbicara pada produser, aku tutup,” dengan terburu-buru ia menambahkan, “aku akan menemuimu secepatnya.”
Dean selalu seperti itu, selalu memutus sambungan suara kami sepihak. Meski dalam sehari ia terus mengirimkan pesan-pesan seperti orang yang sedang menghawatirkanku, sama sekali tak berarti apa-apa. Ia sedang tergabung dalam sebuah proyek film yang memaksanya fokus untuk beberapa bulan, pastinya juga meninggalkanku. Berkomunikasi via suara saja terasa tidak mungkin. Bagaimana tidak, baru beberapa kalimat terlontar ia akan segera menutup telepon.
“Isabel, kau masih di sana?” Ia belum menutupnya rupanya, “Apa kau marah?” Katanya seakan ia mengetahui semua yang ada di pikiranku.
“Tidak,” jawabku geram, “tidak bisakah kita seperti pasangan lainnya?”
“Baiklah, akan kuselesaikan ini.”
Ia benar-benar menutup teleponnya kali ini. Aku teramat marah hingga aku menyerah dan memutuskan untuk tenggelam di balik selimut. Aku bermimpi seseorang tengah mengangkat tubuhku dan membawaku menerjang salju yang baru turun sore tadi.
Ketika aku terbangun, hari sudah menjelang pagi meskipun aku belum melihat sinar matahari. Aku tidak berada di tempat tidurku dan coba tebak siapa yang berada di sampingku. Dean. Ia tengah terlelap bersender pada kursi pengemudi. Wajahnya terlihat letih dengan garis-garis muka yang amat kentara. Rambutnya yang berantakan disembunyikan oleh topi hitam yang kerap menyelamatkannya dari fans di tempat umum. Ia mengenakan mantel hitam dengan bulu-bulu sintesis di bagian penutup kepalanya, mantel tak modis yang belum pernah kulihat sebelumnya. Keadaannya benar-benar acak-acakan.
Matanya lantas membuka perlahan. Mata kami berserobok untuk waktu yang cukup lama, menurutku. Ia tersenyum kemudian membenarkan posisi duduknya. Aku memandangnya dengan tatapan bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Seharusnya tadi malam,” katanya.
Aku masih bertanya-tanya apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Tak terbersit apapun di benakku.
“Kencan romantis seharusnya dilakukan malam hari,” jelasnya kemudian, “tetapi sekarang sudah pagi, aku minta maaf.”
Tanpa permisi aku melingkarkan lenganku di lehernya mengisyaratkan bahwa dia tak perlu meminta maaf karena aku benar-benar merindukannya. Ia tak membalas pelukanku justru membuka pintu mobilnya, “Kau tak ingin keluar?”
Dengan semangat aku mengikutinya. Ia berhenti pada satu titik dan meraih pergelangan tanganku. Aku tak menghindar karena aku butuh penjelasan darinya.
“Kau bilang kau ingin kita seperti pasangan lainnya, aku pikir itu sedikit tidak mungkin ketika kau bersama artis terkenal sepertiku, kau akan terus mendapatkan komentar pedas dari orang-orang yang tak suka kau bersamaku, apa kau tetap akan bersamaku?” Ia mengeluarkan sebuah kalung yang berliontin cincin. Ya, cincin.
Aku menitihkan air mata, kali ini bahagia. “Dean…”
“Maaf karena aku kerap mematikan teleponmu, aku benar-benar tak bisa bersantai-santai ketika para kru bekerja keras, aku ingin kami bekerja bersama bukan mereka yang bekerja untukku. Pesan-pesan itu sebisa mungkin kukirimkan diam-diam, aku sangat merindukanmu di sana.”
Aku mengangguk, “Meski kita tak bisa seperti pasangan lainnya, aku tetap senang. Aku minta maaf karena tak mengerti pekerjaanmu dan bersikap terlalu egois.”
“Tak apa, kita memang harus lebih mengerti satu sama lain, kau ingat moto hidupku?”
“Tidak ada yang instan.”
Tawa kecilnya menghangatkan sedikit tempat di hatiku. Kuharap perlakuan lain darinya bisa melelehkan sedikit demi sedikit batu es yang tengah bersemayam di dadaku.


Comments