Tak sengaja kita berpapasan pagi ini. Kau dengan korsa hitam yang amat kau banggakan berjalan dalam diam. Garis-garis yang kau bentuk di raut wajahmu terlalu abstrak untuk kutebak. Sepasang mata sayu di balik lensa kacamatamu itu seakan menyiratkan betapa lelahnya kau terjaga hingga lepas tengah malam. Akhir-akhir ini memang merupakan hari-hari yang sulit untuk kita dihadapi.
Aku terpaku sejenak melihatmu berlalu begitu saja. Entah apa
yang merasuki tubuhku tiba-tiba, aku merasa memiliki sebersit semangat untuk
menjalani ujian di Kamis pagi ini. Aku harap kau memiliki semangat yang sama
meski aku tahu kau amat lelah dengan semua yang menghadangmu.
Dulu sekali, aku tak membayangkan bagaimana serentetan ujian
ini akan menerpa. Aku yakin kau juga berpikiran yang sama mengingat kau sangat
suka terjun ke dalam muara organisasi. Kau bahkan lebih hebat dibandingkan aku
meski kita memulai dari titik yang sama.
Aku masih ingat bagaimana kita merancang tugas pertama kita
sebelum tengah malam. Tak terpikir hingga harus menelisik suatu topik, kita
hanya mengambilnya mentah-mentah. Bahkan, ketika mengingatnya aku tertawa, anak
tingkat sekolah dasar pun bisa membuat karya seperti itu. Kau ingat bagaimana
mereka mencaci karya yang kita buat kurang dari 1 jam itu? Rasanya hatiku
mencelus di detik itu meski apa yang mereka katakan semuanya benar. Namun,
ketika melihatmu tegar aku pun mencoba melakukannya.
Terlepas dari itu, kau melangkah lebih jauh. Kau bahkan rela
berpanas-panasan membakar kulitmu sendiri kala aku dan teman-temanku yang
lainnya bergurau tentang puisi. Aku lebih kagum lagi ketika kau ditawari untuk
menyampaikan opinimu. Aku yang tak kerap melihatmu datang untuk bergurau
tersadar bahwa kau memang sudah memiliki bakat dari alam untuk menyoroti sebuah
isu. Aku membacanya dan aku teringat seseorang yang tak takut untuk
berpendapat, dia panutanku.
Ketika kau sudah sekali, tibalah saatnya aku yang ditawari.
Awalnya aku ragu dengan kemampuanku karena aku benar-benar tak bisa merangkai
kata seindah kata-katamu. Karyaku bahkan belum bisa memenuhi standar hingga
kulakukan berkali-kali perubahan. Aku sempat pesimis ketika membandingkan
tulisanku dengan milikmu yang telah dipuja orang, aku takut jika aku tak bisa
menjaga kepercayaan orang-orang yang sudah terlanjur jatuh hati dengan
pendapatmu.
Kini, kita sama-sama dihadapkan dengan sesuatu yang lebih
rumit dari itu semua. Tentang bagaimana kita meraih cita-cita kita masing-masing.
Aku tahu kau belajar siang malam untuk itu. Tenang, aku pun juga. Aku percaya
bahwa Allah akan membantu orang-orang yang sudah berusaha dan bertawakal. Aku
pun tahu kau amat percaya itu. Jadi, aku berdoa pada-Nya supaya kita bisa
diberikan yang terbaik oleh-Nya, entah itu yang kita harapkan atau tidak. Allah
tahu yang terbaik untuk kita. Jangan putus semangat, tetap berusaha, dan berdoa.
Yogyakarta, 23 Maret 2017
Seorang teman kelasmu
Comments
Post a Comment