Skip to main content

Ikatan Emosi


Tatkala manajernya menyibak gorden apartemennya, sayup-sayup sinar matahari menembus kelopak mata Nadine, membuatnya terpaksa terbangun dari tidur yang singkat itu. Ia masih berada di belakang piano tempatnya bersandar semalam. Lembaran partitur berserakan di sekitarnya. Dari sekian banyak partitur yang digubahnya malam itu hanya ada satu yang menyentuh hatinya. Sebuah lagu sendu yang berjudul Faith.
“Sudah kau putuskan?” manajernya memecah sunyi.
“Hanya satu dan aku harus menemui penulisnya.”
Laki-laki bertubuh besar itu lantas mengampiri Nadine seakan meminta penjelasan atas apa yang baru saja ia katakan. Nadine hanya sekilas memalingkan wajah padanya tanpa minat.
Park menepuk bahu Nadine seraya berkata, “Dengar Nadine, kami telah meminta semua hak atas semua lagu ini, kejadian ‘The One and Only’ itu tidak akan terjadi lagi, jadi kau tak perlu menemuinya secara pribadi, kau hanya akan membuang waktu yang amat berharga ini.”
“Baiklah kali ini aku percaya,” jawab Nadine akhirnya, “tapi izinkan aku untuk bertemu dengannya, kali ini bukan tentang hak cipta.”
Park tak bisa melakukan konfrontasi pada artisnya itu sehingga ia dengan berat hati menyusun jadwal pertemuan Nadine dengan si penulis lagu. Hari itu juga, Nadine khusus memintanya.
Berbalut mantel wol rancangan Alexander McQueen, Nadine melenggang menyusuri lorong menuju tempat pertemuan. Ia sengaja tak memperbolehkan manajernya untuk mengikutinya karena ia yakin siapa yang akan ia temui. Lagu berjudul Faith itu telah memberitahu Nadine siapa yang menulisnya, seseorang yang sangat Nadine kenal.
Seorang pramusaji membukakan pintu untuk Nadine, di sanalah orang yang Nadine cari. Perempuan berumur lebih dari separuh baya itu duduk anggun dengan gaun musim panas keluaran Zara. Menatap perempuan itu membuat kedua mata Nadine panas, ia rindu juga geram.
“Apa kabar?” perempuan itu menyapanya dengan seulas senyum manis.
Nadine tak segera mengambil kursi, ia hanya berdiri di ambang pintu dan menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa kau menulisnya?”
Hening.
Karena aku tau kau akan segera menemuiku setelah mendengar lagu itu.
Namun, kalimat itu tak pernah terucap.


Comments