Skip to main content

Ini Kisah Tentang Setangkai Mawar



Ketika aku masih menjadi benih, aku tak bisa melihat apapun. Semuanya gelap, tapi aku bisa merasakan kasih sayang alam yang mengalir mengitariku. Aku bahkan tak tahu bagaimana semuanya berjalan di dunia ini dengan sangat cepat. Namun, tiba-tiba beberapa sulur mengitariku dan melilitku. Mereka adalah calon kelopakku. Mereka kuat dan rapuh di saat yang sama. Tangan-tangan jahil bisa dengan mudah mengelupasnya sehingga aku dapat merasakan hembusan angin sebelum waktu seharusnya.
Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Mengapa kau mengelupas pelindungku?” Tak ada jawaban. Hanya tatapan kosong dari si empunya mata hazel itu. Jemari rentanya masih berkutat pada calon kelopakku. Menggerogiti satu demi satu hingga mereka jatuh ke tanah.
“Maaf,” katanya lamat-lamat, “Aku hanya ingin tahu warnamu sebelum kau menjadi mawar yang sesungguhnya.” Aku bergidik, tidak bisakah ia sabar menunggu hingga aku mekar. Itu tidak butuh waktu lama, mungkin hanya satu hingga dua minggu saja.
Ketika kelopak terakhir dijatuhkannya, aku merasa sangat dingin. Hempasan udara lembut seakan-akan seperti angin tornado yang siap menerjangku. Setiap malam aku berdoa pada Sang Pemilik Alam ini untuk membantuku segera merekah. Aku sudah tak kuat dengan dinginnya malam dan teriknya matahari.
Benar saja, doaku terkabul. Aku merekah lebih cepat sebelum teman-temanku. Aku terbuka, begitu saja tanpa didahului kelopak yang menggulung keluar. Kemudian, aku menjadi satu-satunya primadona yang ada. Aku bahagia ketika orang-orang melihatku dengan senyum yang tersungging.
Perempuan paruh baya si pemilik mata hazel itu kembali. Kembali di saat yang tepat, ketika aku bisa memperlihatkan diriku yang sesungguhnya. “Kau bahagia?” Tanyanya kemudian. Dengan girang aku menjawab, “Ya, aku sangat amat bahagia, aku adalah satu-satunya yang cantik.” Ia tersenyum tanpa arti. Wajahnya seperti mengisyaratkan bahwa jawabanku salah sepenuhnya. Dalam hitungan tiga detik, ia berpaling dan pergi menjauh.
Teriknya matahari lama-lama membakar ujung-ujung mahkotaku. Yang selama ini merah, lamat-lamat menjadi coklat. Menjalar masuk ke dalam dan membuatku menjadi coklat seutuhnya. Di saat bersamaan, teman-temanku mekar. Aku bisa melihat warna mereka yang sesungguhnya. “Cantik, sangat cantik,” kataku pada diri sendiri.
Usai hujan turun, aku bercermin pada genangan air. Aku sadar, aku mencoklat, menghitam, dan mengering. Mahkota-mahkotaku sudah sangat rapuh. Jika kau menyentuhnya, seketika mereka akan jatuh. Aku tak tahan menjadi bahan gunjingan orang-orang yang melewatiku dengan tatapan jijik. Aku sadar, aku bukan primadona lagi. Sekarang, aku hanya mawar yang harus siap dihina.
Mata hazel itu menatapku. Hei, itu perempuan yang waktu itu. Ia datang lagi rupanya. Memandangiku dengan tatapan iba dan kemudian ia bergumam, “Maaf, aku mengulang cerita kehidupanku pada dirimu,” katanya lalu mengambil napas panjang, “Kau bisa melihat sendiri bagaimana ketika kau menjadi dewasa tidak pada waktunya dengan paksaan orang lain.”

Comments