Skip to main content

You are Enough



Kotak-kotak sisa makan siang dan kardus-kardus berisi setengah penuh minuman dalam kemasan itu tampak sangat berat dalam dekapanmu. Kau rela berbalik untuk mengambil barang-barang yang tak sengaja luput dari penjagaanmu. Kau melakukannya dengan senang hati, bahkan aku bisa melihat senyum tulusmu yang selalu berkembang seharian, kapanpun.

Ketika kau berpapasan dengan beberapa orang yang kukenal, dari sudut sini, aku jelas melihat gerak bibirmu. Kau tak enggan untuk memberikan dukungan dengan kata-kata semangat dan berterima kasih.

Tak kusangka, kau berjalan mendekat. Tepat di bawah pohon besar, tempat di mana aku berteduh, kau berhenti. Kau pamerkan deretan gigi putihmu itu dan membentuk senyum yang lebar.

“Disya,” panggilmu. Kau bahkan mencoba menghafalkan setiap nama orang, termasuk namaku, agar kau tak melukai hatinya. Itu suatu hal yang amat mustahil untukku ketika orang yang kau hafalkan berjumlah lebih dari seratus orang, dalam waktu yang relatif singkat.

Aku melirik ke arahmu dan membuat seulas senyum formal.

“Makasih untuk kerja kerasnya hari ini, kamu yang terbaik!” Lanjutmu dengan menawarkan telapak tangan yang kini memohon untuk disambut. Sebagai formalitas, aku menjabat tanganmu, singkat.

Kau hendak hengkang dari tempatmu berdiri, namun tak sampai sepersekian detik kau kembali menghadapku dan melanjutkan apa yang yang ingin kau katakan.

“Maaf ya aku selalu ngerepotin.”

Sebaris kalimat itu selalu meluncur ketika kau membutuhkan pertolongan, tak pandang bulu, kepada siapapun. Jujur, aku benci ketika kau harus mengatakannya padaku. Tidak, seharusnya kau tak perlu mengatakannya. Aku dan mereka sudah seharusnya melakukannya, bukan kau.

Ya, aku sangat tahu. Masih ada beberapa oknum yang tak bisa kau puaskan hatinya. Sebetulnya, itu memang hukum alam, bukan? Tak ada seorang pun bisa memuaskan semua orang. Tak apa, yang kau lakukan itu sudah sangat sangat sangat baik dan sangat sangat sangat benar.

Setidaknya, ada kami. Kami yang akan mendukungmu.

Comments