Skip to main content

Andai Dia Tahu


Denting piano yang dilantunkan melalui pemutar musik lamat-lamat tertangkap oleh kedua daun telinga laki-laki berparas tinggi itu. Langkah kakinya yang terus berayun semakin mendekatkannya pada sumber suara. Ketika pemutar musik itu tengah berada di hadapan laki-laki berseragam putih itu, seperti rutinitasnya di hari-hari biasa, dia meletakkan tas punggungnya kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi malas yang memang sedari dulu ditempatkan di sana. Satria membuka gawai personalnya dan mulai mengerjakan tugas-tugas yang lama terbengkalai akibat ulahnya sendiri.
Memori akan kejadian yang diceritakan padanya beberapa hari lalu kembali berkelebat, sebuah memori tentang sesuatu yang tidak akan dipikirkan kembali oleh siapapun. Namun, dengan sedikit paksaan, Satria berusaha mengalihkannya. Meski begitu, raganya mengkhianati pikirannya. Sebentar-sebentar dia berdiri untuk memperhatikan seorang gadis yang duduk di ujung ruangan. Tidak, Satria tak menyukainya, hanya saja dia khawatir bilamana ada yang terjadi pada gadis itu.
“Bang Sat!” seorang laki-laki dengan seragam yang sama menegurnya. Seperti sumpah serapah, namun Satria sudah biasa dipanggil begitu.
Satria menoleh untuk menjawab panggilan itu. Rupanya pekerjaannya akan bertambah hari ini. Setumpuk file berwarna kini digenggamkan padanya. Ingin rasanya Satria menolak kertas-kertas itu dan menyerahkannya pada orang lain apabila bisa.
Dengan segenap semangat yang masih mengalir di darahnya, Satria berusaha menyelesaikan tugasnya satu per satu. Distraksi kembali datang ketika sang kawan datang, kawan yang berada dicerita yang sama dengan si gadis ujung ruangan. Kekhawatiran Satria semakin membuncah ketika sang kawan beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan menghampiri si gadis.
Dari tempatnya, Satria mengamati gerak-gerik yang ditampilkan mereka, sang kawan dan si gadis. Dia tak mau sesuatu terjadi, lagi. Satria lekas berdiri dan mengambil langkah-langkah besar menuju ujung ruangan.
“Sha, bisa tolong cek yang ini?” tanya Satria asal sambil memosisikan dirinya berada di antara mereka. Gadis itu, Fasya, buru-buru mengoperasikan komputer di hadapannya. Diam-diam Satria bernapas lega.
“Bangsat lu Sat!” seru sang kawan ketika Satria telah kembali ke tempat duduknya. Satria bisa memastikan setengah ruangan mendengar seruan sang kawan.
“Lu yang bangsat, bego!” Satria balas menyumpahi sang kawan. Tak sampai di sana, Satria melanjutkan, “Jangan ngerusak citra kantor kita, bego…”
“Gua cuma mau main doang, anjir.”
“Awas ya lu kalau deketin dia lagi!” ancam Satria pada sang kawan penuh emosi.
Hatinya yang masih terus cemas, memaksa Satria untuk terus memantau Fasya. Dari kejauhan, dia memonitor semua kegiatan Fasya. Terkadang apabila alarm bahaya telah mengintai, Satria bahkan rela berpatroli di sekitar Fasya. Dia tak peduli Fasya berpikiran macam-macam tentangnya, dia hanya sedang menjalankan tugas untuk menyelamatkan Fasya dari predator yang tidak lain dan tidak bukan adalah temannya sendiri. Sekali lagi, bukan karena Satria menyukai Fasya, dia hanya tak ingin sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada gadis seumuran adiknya itu.

Comments