Seorang perempuan muda dengan rambutnya yang ikal dan sedikit kemerahan di ujung-ujungnya tengah menuntun anak-anak kecil menuju rumah belajar, tempat di mana ia akan mengajari anak-anak itu untuk membuka mata akan luasnya dunia. Namanya Apsara, keturunan asli dari kota yang terkenal dengan sup udang berbumbunya itu. Ini adalah tahun keduanya untuk melakukan kegiatan sukarela di pinggiran kota. Ia tergerak karena hampir sepuluh persen penduduk kotanya berada di bawah garis kemiskinan, keinginannya itu hadir begitu saja, tanpa embel-embel untuk mencari popularitas di sosial media semata seperti kebanyakan influencer lainnya di luar sana.
“So, setiap weekend ini yang kamu lakukan?” seorang lelaki muda di sebelahnya bertanya bak pewawancara dari suatu kanal Youtube, tapi tentunya ia bukan salah satu dari mereka.
Apsara menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan kecil dan senyum yang terbentuk dari kedua sudut bibirnya. Sebelum si laki-laki menambahkan pertanyaannya, Apsara memintanya untuk turut menggiring anak-anak menuju rumah belajar.
“Yah, seperti yang kamu lihat,” gadis itu menghela napasnya kemudian melanjutkan, “Aku masih berharap bisa mendampingi mereka seterusnya.”
Thanat memiringkan kepalanya seolah tak percaya dengan perkataan Apsara, “Bagaimana dengan kehidupanmu?”
Apsara jelas mendengarnya, namun ia masih berfokus menempatkan murid-muridnya untuk duduk manis di kursi mereka masing-masing. Tanpa menghiraukan pertanyaan Thanat, ia menuju bagian terdepan ruangan yang disebutnya rumah belajar itu.
“Selamat pagi semuanya,” sapa pemilik rumah belajar itu dengan hangat.
Sapaan balasan terdengar dengan cukup riuh menyambut para sukarelawan dengan lebih hangat lagi. Sang pemilik rumah belajar memperkenalkan Thanat sebagai sukarelawan baru yang akan turut membantunya hari ini mengajarkan membuat kue kering kepada anak-anak kecil itu.
Kelas berjalan dengan cukup kondusif ketika anak-anak mulai menghias kue-kue kering yang sudah selesai dibuat. Thanat mengambil kursi di sebelah Apsara untuk meminta jawaban atas pertanyaannya tadi.
“Jadi?” buka Thanat.
“Aku baik-baik saja dengan menjadi sukarelawan seperti ini, aku bisa bertemu banyak orang sesama sukarelawan yang sering mengajarkanku untuk terus mengasah kemampuanku, aku bisa bertemu mereka yang selalu membuatku bersyukur atas hidupku,” jelas Apsara seolah sudah mengetahui apa yang diinginkan si penanya.
“Sampai kapan kamu mau lari seperti ini? Aku rasa sudah saatnya kamu berpikir tentang masa depanmu.”
Apsara tahu lari terus menerus tidak akan membuatnya menyelesaikan masalahnya, cepat atau lambat ia harus menghadapinya. “Aku tahu, Mae memintamu untuk membujukku melanjutkan studiku,” sebuah pernyataan keluar dari bibir Apsara dengan cukup berat, “Aku akan melanjutkannya, tolong beri aku tahun ini saja, lalu aku akan berangkat menyusulmu.”
“Mae khawatir dengan keadaanmu, wajar bukan seorang ibu mengkhawatirkan putrinya?”
Apsara mengangguk, “Cukup dua bulan ini saja, izinkan aku berpamitan.”
“Kamu bisa berangkat ketika sudah siap, aku akan bantu menjelaskan kepada Mae,” pungkas Thanat dengan membelai lembut rambut perempuan muda di sebelahnya itu, memberikan secercah ketenangan untuknya.
Senyum Apsara tak bisa ditangguhnya, ia merengkuh Thanat dengan cukup erat seraya mengucapkan terima kasih kepada adiknya itu.
Comments
Post a Comment