Skip to main content

They care about what other people say

 

Udara pagi yang segar menyapa seluruh indera, perlahan memasuki rongga paru-paru Sadam yang semakin membuatnya bersemangat di pagi hari. Bagi Sadam, bangun di pagi hari kemudian berolah raga adalah sebuah kewajiban yang tak akan pernah mau ia hilangkan. Biasanya ia akan berlari keliling kompleks. Setidaknya ia mengeluarkan keringat untuk menambah staminanya sebelum berkuliah.

Biasanya kelas dimulai setelah pukul sembilan pagi sehingga ia masih sempat untuk mengerjakan beberapa tugas yang harus dikumpulkan. Sadam akan bersiap-siap dengan cepat, namun ia tetap memastikan bahwa penampilannya rapih dan tidak acak-acakan. Kemudian ia akan bergegas memacu sepeda motornya menuju kampus. Ia selalu berangkat mendekati jam masuk kelas dan tak lupa untuk memaksimalkan beberapa menit toleransi keterlambatan.

Seperti hari-hari biasanya, Sadam melontarkan opini-opininya untuk menambah poin partisipasi di kelas. Ia memang mahasiswa yang cukup aktif dan mendapatkan predikat yang cukup tinggi dalam nilai akademis. Tak ayal, terkadang semua mata tertuju pada Sadam, entah menganggapnya sebagai seorang kompetitor atau mengaguminya.

“Mau makan di mana?” Atisha menghampiri Sadam selepas kelas dan jam makan siang sudah datang.

“Di kantin aja yuk, aku masih harus ngerjain tugas buat sesi setelah ini.”

Ya begitulah Sadam, menjadi deadliner adalah kebiasaannya, tak pernah berubah. Atisha pun tak habis pikir dengan perilaku Sadam yang tak pernah mengerjakan tugas jauh-jauh hari. Karena mereka memiliki beberapa mata kuliah yang sama yang harus dihadiri, Atisha sudah terbiasa dengan kebiasaan Sadam itu.

Meskipun sudah berkenalan semenjak semester pertama mereka di perkuliahan, Sadam dan Atisha hanyalah teman transaksional sebatas perkuliahan. Dapat dihitung jari bagaimana mereka berinteraksi secara personal karena memang sedari awal bukan pertemanan seperti itu yang mereka bangun. Akan tetapi, tidak berarti bahwa mereka tidak suportif dalam perkuliahan. Dalam hal akademis, mereka akan saling menguatkan dan saling membantu, apapun dan bagaimanapun caranya.

“Tis, bagi jawaban tugas dong,” berkali-kali Sadam mengucapkannya.

Atisha mengeluarkan bindernya dan di sana ada selembar kertas yang dilipat dengan rapih, tugas untuk sesi selanjutnya. Tanpa menjawab perkataan Sadam, Atisha menyodorkan lembar jawabannya untuk disalin.

Sadam dengan sigap menyalin jawaban Atisha tanpa perbedaan sedikit pun seraya sesekali ia menyuapkan nasi dan lauknya. Atisha di seberangnya masih sibuk dengan soto yang telah dipesannya.

“Kalau nggak ada kamu, aku yakin aku nggak bakal survive di sini,” ujar Sadam sambil tertawa.

Atisha hanya ikut tertawa melihat tingkah Sadam, “I’m more than happy to help, santai aja pokoknya.”

Ketika Atisha berlaku sangat baik kepadanya, Sadam selalu takut salah mengartikan kebaikan itu. Meskipun mereka hanyalah sebatas teman transaksional, perhatian Atisha pada Sadam terkadang membuat Sadam goyah dan berpikir bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar teman transaksional. Beberapa teman sekelas mereka pun terkadang melontarkan godaan-godaan kepada mereka berdua yang terlihat sangat dekat satu sama lain.

Kelas dimulai pukul setengah dua siang. Sadam mengambil kursi di sebelah Atisha seperti di kelas-kelas lainnya ketika kelas mereka sama. Pada saat diskusi kelas, Sadam lagi-lagi melontarkan pertanyaan untuk menambah nilai partisipasi.

“Kasih aku pertanyaan dong Dam, aku butuh nilai partisipasi nih,” bisik Atisha di sebelahnya.

Sadam memberikan beberapa pertanyaan yang mungkin bisa ditanyakan kepada kelompok presentasi. Atisha memilih salah satu pertanyaan itu dan menanyakannya. Kemudian, diskusi berlanjut, membuat Atisha dan Sadam terlarut dalam diskusi mereka berdua.

Sang Dosen yang duduk di kursi depan menyahut dengan diiringi tawa menggoda, “Mas Sadam, kalau pacaran sama Mbak Atisha pelan-pelan ya ngobrolnya.”

Sadam dan Atisha terkesiap. Tidak seperti Atisha yang tercengang, Sadam membalas sang Dosen dengan tawa dan permohonan maaf.

Ketika itu Sadam sadar bahwa ia dan Atisha terlalu terlihat seperti sepasang kekasih di mata orang lain. Detik itu juga, ia memilih untuk sedikit menjauh karena ia tak ingin memberikan harapan apapun pada Atisha karena Sadam tahu bahwa mereka tidak akan pernah satu, ada benteng yang tinggi di antara mereka.

Comments