Perang Dunia II telah usai beberapa tahun yang lalu. Situasi di muka bumi berangsur-angsur kondusif. Negara-negara yang terlibat perang telah membangun kembali tanah airnya dengan segenap tenaga dan bala bantuan. Untung saja, kerajaan kecil ini—tempatku dibuang—tidak terlibat peperangan terbesar sepanjang sejarah. Sejumlah negara dan kerajaan lain di sekeliling ikut membantu melindungi dan mempertahankan keberadaan Kerajaan Liechtenstein yang luasnya kurang lebih 160 kilometer persegi ini.
Aku dibuang—tepatnya diasingkan—ketika usiaku beranjak 14 tahun. Pada waktu itu, kedua orang tuaku pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Pencipta. Mereka adalah pahlawan, jiwa dan raga dikorbankan demi terbebasnya tanah airku dari imperialisme dan kolonialisme yang sempat melanda. Namun, akibat dari tembakan Jepang di kapal-kapal pertahanan negara kami, Ayah, Ibu, dan awak kapal lain kritis hingga sang pencabut nyawa datang untuk menjemput mereka.
Karena tempat tinggal kami dikepung oleh pasukan dari Negeri Sakura, kami berniat mengasingkan diri. Beberapa keluarga menetap di pulau-pulau kecil dan yang lainnya melarikan diri ke negara-negara lain. Sayangnya, aku tertangkap. Aku sempat dimasukkan ke belakang terali besi selama beberapa bulan dan berakhir dengan diasingkan di kerajaan kecil di Eropa ini.
“Negaramu kudengar sudah mulai kondusif,” ragaku berputar menghadap sosok yang mengajakku berbincang. Seorang teman seperjuanganku yang sedikit lebih beruntung dalam penggarisan takdir. “Kau berencana hengkang?” Ia menyodokkan pertanyaan telak yang amat aku khawatirkan.
“Theodor, kau benar-benar ingin aku segera angkat kaki.”
Ia menjamah cangkir porselen di hadapannya dan seketika minuman anggur fermentasi itu menerobos masuk ke kerongkongannya. Aku melihatnya bergidik sepersekian detik kemudian melanjutkan, “Kudengar negaramu banyak mengorbankan orang, hanya sedikit saja yang bersisa, di mana hati nuranimu?”
“Langsung saja pada benang merahnya, lelaki tak ditakdirkan untuk banyak bicara.”
“Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengasingkan diri,” ujarnya penuh rona dingin di setiap kata, “belum jugakah kau sadar jika negaramu sedang membutuhkan harapan dari satu bintang yang belum redup?”
“Apa yang bisa dilakukan satu bintang jika ia berdiri sendiri? Kau sebegitu yakinnya jika satu buah bintang saja bisa menerangi gelapnya langit?”
Theodor mengalihkan pandangannya menghadapku, matanya seakan berkilat. Tak sepatah kata pun terucap, hanya pandangan mengerikan yang selalu aku hindari sejak pertama bertemu dengannya. Ia yang menolongku—tidak sepenuhnya menolong—dengan mempekerjakanku di toko rotinya. Bukan sebagai seorang pembuat roti, aku lebih bertanggung jawab dalam urusan membersihkan partikel-partikel kecil yang mengotori setiap inci rak ataupun lantai. Seharusnya aku memang berterima kasih dan menuruti perkataannya untuk segera kembali. Namun, lagi-lagi sama seperti beberapa tahun sebelumnya, aku belum siap.
“Sebuah bintang tak akan menyembunyikan pancaran cahayanya,” jawab Theodor seketika melangkah meninggalkan ruang utama toko roti, tetapi sebelumnya ia menambahkan, “sekecil apapun itu.”
Tak dapat dipungkiri, aku amat tertohok dengan pembandingan langsung akan diriku yang lemah ini. Setiap kata yang terangkai dalam pernyataan Theodor adalah benar, aku mengakuinya. Bahkan benakku sudah beberapa persen dibuat pro olehnya. Di samping itu, masih ada bagian dalam diriku yang kontra, terlebih hatiku.
Semuanya sudah pasti berubah ketika aku kembali, tapi luka itu masih membekas. Serta merta akan terkelupas apabila aku mengingat mereka. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan di kala keping-keping masa lalu mencoba menusuk setiap celah dari kelemahanku?
Comments
Post a Comment