Langit sore, dia seakan ikut tersenyum padaku. Memberiku sebersit kerinduan pada seseorang yang telah lama tak kutemui. Cyra, nama gadis bermata hazel itu, seseorang yang pernah menjadi sahabatku selama tiga minggu pada musim panas tahun lalu.
Aku tengah mengangkat satu buah kelapa menuju tempat ibuku berjualan ketika sebuah sekoci mendekati bibir pantai. Sekoci putih itu membawa enam orang penumpang dan salah satunya adalah seorang gadis yang seumuran denganku.
“Ma, bolehkan aku mendapatkan kelapa?” tanyanya seketika ia memijakkan kakinya di pulau kami.
Dari sekian banyak penjual kelapa, Tuhan sudah menakdirkan kami untuk bertemu. Ia dan keluarganya memilih kelapa yang dijual ibuku dari banyaknya penjual lainnya yang sudah berjajar.
Aku membawa sebuah kelapa yang sudah dibuka, mengekor di belakang ibuku yang membawa tiga buah kelapa lainnya di nampannya. Gadis dengan rambut yang diterpa angin pantai itu menyambut kelapa yang kubawa seraya berterima kasih.
“Aku Cyra, apakah kita bisa berteman?” tanyanya kemudian setelah meletakkan kelapanya di tikar di mana ia dan keluarganya bersantai.
Aku tersenyum mengiyakan, “Aku Daria, selamat datang.”
“Aku dan keluargaku akan menghabiskan musim panas di sini,” sahutnya girang.
Kami berbincang banyak seperti layaknya teman. Cyra yang berasal dari ibukota baru kali ini berkunjung ke pulau ini. Ia mengagumi keindahan yang jarang ditemukannya di tempatnya tinggal. Tanpa malu-malu, ia menunjukkan sebuah daftar aktivitas yang ingin dilakukannya selama musim panas. Lalu, ia menambahkan namaku di sampingnya, daftar aktivitas bersama Daria.
Di hari-hari selanjutnya, kami melakoni daftar aktivitas itu hingga semua kotak yang ada di sana sudah dicentang. Kami mencari cangkang-cangkang kerang cantik untuk koleksinya, membuat istana pasir yang dihias dengan daun-daun kelapa kering, berjalan memutari pulau, dan banyak hal lainnya. Setiap hari, kami akan melakukan hal yang berbeda, namun setiap senja datang, Cyra akan setengah menyeretku untuk duduk memandangi laut dan matahari yang akan tenggelam.
“Matahari tenggelam sangat indah di sini, aku ingin terus melihatnya setiap hari,” gumamnya pada hari terakhir musim panasnya di pulau ini.
Aku tak bisa mengatakan apapun. Hanya menatap guratan merah, oranye, dan kuning itu yang lama-kelamaan menghilang menjadi gelap. Sayup-sayup air mata mulai membasahi kedua pipiku. Aku sudah tahu Cyra akan akan meninggalkanku di akhir perjalannya dan kembali ke kehidupannya di ibukota, namun masih saja ini sangat menyedihkan untukku.
Pada keesokan paginya, kami berpamitan. Lamat-lamat, aku bisa melihat sekoci itu berhenti di depan sebuah kapal besar. Lalu, kapal itu menjadi kecil dan tak terlihat. Tergantikan dengan langit sore yang rasanya sudah tak sama lagi. Hampa.
Comments
Post a Comment