Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2015

My Fault

Semuanya akan baik-baik saja. Kapan? Suatu hari nanti. Selalu saja begitu, tidak pernah ada jawaban yang pasti kapan hari yang dinantikan itu tiba. Aku sudah cukup sabar menunggunya, tetapi apa? Hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa hari itu akan menghampiriku. Hampir sebulan sudah penantianku, semuanya masih sama—berantakan. Nasihat demi nasihat yang diberikan beberapa temanku telah kucoba kuaplikasikan pada kesalahan yang sudah terlanjur terjadi ini. Awalnya ini adalah sebuah rencana yang menyangkut perasaanku, bukan sesuatu yang kulakukan untuk menghancurkan perasaanku. Siapa sih yang mau menghancurkan dirinya sendiri? Hanya orang-orang bodoh yang melakukannya. Namun ternyata, aku cukup bodoh dalam menjalankan rencana itu. Rencana itu terlaksana sebagian, tetapi dampaknya berupa kehancuran yang begitu dalam di lubuk hatiku. Baiklah, aku akan menceritakan singkatnya. Aku memiliki perasaan khusus kepada seseorang. Aku hanya ingin menyampaikannya. Cukup sampai di situ. Kemudia...

Tragedy of Tide

Pagi yang cerah membawaku untuk mengitari sebagian kecil pulau ini. Pulau dengan penghuni sekitar 40 hingga 47 orang ini bukanlah pulau yang besar. Hanya pulau yang terhitung kecil yang berada di rangkaian Kepulauan Oceania. Tapi yang kurasakan berbeda, aku merasa pulau ini begitu besar untukku. Juga membuatku bebas. Tak ada tugas, tak ada keluarga, tak ada teman-teman, untuk sementara ini. Pulau ini juga yang membiarkan hati dan pikiranku tenang, seakan meluruhkan segala beban yang kutanggung. Kedatanganku di sini awalnya tak disetujui Papa dan Mama. Mereka takut hal yang tak diharapkan terjadi padaku. Tapi aku tak menyerah membujuk kedua orangtuaku. Dan di sinilah aku sekarang. Ada yang janggal hari ini, batu-batu karang terlihat memantulkan cahaya. Pantai-pantai mengalami pasang surut yang tidak seperti dua hari lalu. Aku pernah membaca artikel yang menyatakan pasang surut air laut yang tidak wajar dapat menyebabkan tsunami. Apakah ini pertanda akan terjadinya tsunami? Tapi aku ta...

Malam Penuh Kenangan

Salah satu malam penuh kenangan ini sedang kualami. Canda tawa memenuhi setiap benak. Kegembiraan terpancar jelas di raut muka. Kami bermain kartu, makan bersama, bertukar kado, dan memanggang sosis. Masih sampai di situ, mungkin masih banyak kejutan-kejutan kecil yang akan terlaksana. Celotehan-celotehan yang mungkin terdengar menjengkelkan akan menjadi berbeda malam ini. Semuanya hanya akan menjadi gurauan semata. Terkadang tersimpan sesuatu yang nyata di dalam celotehan-celotehan itu, tetapi hanya berlalu seperti angin. Api menyala saat tetes-tetes hujan turun dari langit, hanya berupa butiran-butiran kecil. Namun, setetes air hujanpun akan dijadikan suatu topik pembiacaraan di sini. Ada kalanya beberapa orang hanya terdiam bersama kesenangan-kesenangan mereka masing-masing, tapi itu manusiawi. Seseorang membutuhkan privasi yang tidak seharusnya orang lain mengetahuinya. Hanya beberapa hitungan jam lagi tengah malam. Kini, aku memandang teman-teman seperjuanganku yang sedang asyik...

Wish on a Dandelion

The sun appeared when the girl woke up. On top of the wet grass, she looked at the sky. A pair of doves flew beautifully. They perched on the different branches. Suddenly, one of the doves flew away. The dove on the branch just saw her pair left her. The dove’s pair went in the direction of the sunrise—East. The girl was still looking at the dove who perched on the branch. She thought, the dove had a same feeling with her. She felt lonely when her partner left her out of the blue, it was like the dove who was left by her pair. “She stronger than me, she isn’t crying or do something irrational,” the girl whispered to the wind. Her brunette hair looked messy, her eyes too wistful, and her dress full of soil and wet. However, she didn’t care about her condition. She just missed someone who ever been in her heart. Someone who was always by her side. But now, he left her with a lot of memories. He went away from her life—maybe forever. She couldn’t admit the reality that faced her. The im...

First Step

Sebentar-sebentar kulihat jam yang menempel dipergelangan tangan kiriku. Jarum jam bergerak dari angka yang satu ke angka yang lain. Perlahan, detik-detik berlalu menjadi menit. Rupanya sudah sekitar setengah jam aku menunggu. Ruangan yang menjadi tempat penantianku cukup besar. Kursi-kursi panjang ditata sedemikian rupa sehingga bisa memuat cukup banyak calon penumpang. Di tepi ruangan ini, berjajar kios-kios kecil yang menjual berbagai macam souvenir. Aku duduk tepat disebelah salah satu tiang penyangga. Di sebelah barat, wanita-wanita kaum sosialita sedang membicarakan sesuatu yang bahkan aku tak tahu. Sementara di depanku, hanya ada seorang pria yang sedang membaca koran. Aku seperti terasingkan, padahal ini tempat ramai. Ini layaknya paradoks. “Semuanya baik-baik saja?” tanya Ayah dari seberang telepon. “Iya.” “Mengapa kau bisa mengangkat teleponmu? Bukankah seharusnya kau sudah berangkat?” “Aku masih di ruang tunggu, Ayah. Seperti biasa, penundaan jadwal keberangkatan.” “Jadi k...