Pagi yang cerah membawaku untuk mengitari sebagian kecil pulau ini. Pulau dengan penghuni sekitar 40 hingga 47 orang ini bukanlah pulau yang besar. Hanya pulau yang terhitung kecil yang berada di rangkaian Kepulauan Oceania.
Tapi yang kurasakan berbeda, aku merasa pulau ini begitu besar untukku. Juga membuatku bebas. Tak ada tugas, tak ada keluarga, tak ada teman-teman, untuk sementara ini. Pulau ini juga yang membiarkan hati dan pikiranku tenang, seakan meluruhkan segala beban yang kutanggung.
Kedatanganku di sini awalnya tak disetujui Papa dan Mama. Mereka takut hal yang tak diharapkan terjadi padaku. Tapi aku tak menyerah membujuk kedua orangtuaku. Dan di sinilah aku sekarang.
Ada yang janggal hari ini, batu-batu karang terlihat memantulkan cahaya. Pantai-pantai mengalami pasang surut yang tidak seperti dua hari lalu. Aku pernah membaca artikel yang menyatakan pasang surut air laut yang tidak wajar dapat menyebabkan tsunami. Apakah ini pertanda akan terjadinya tsunami?
Tapi aku tak menghiraukannya, buktinya dua hari aku di pulau ini, tak ada satu pun hal yang tidak diinginkan terjadi. Bahkan hari-hariku di pulau ini terasa perfect. Pagi ditemani kicauan burung-burung yang merdu, siang disuguhi santapan dengan bahan dasar biota laut, sore diperlihatkan indahnya sunset, dan malam diberikan kehangatan dengan barbeque.
Aku tetap saja memotret apa saja yang ada di hadapanku, hingga aku menyadari sesuatu. Ketika aku menilik hasil potretanku aku melihat ombak besar yang tertangkap kameraku. Segera aku mengalihkan pandangan dari kameraku. Benar saja ombak besar tengah mengintaiku dari kejauhan.
Tanpa pikir panjang, langsung kuambil langkah seribu menuju tempat penginapanku. Tapi aku kalah dengan semua bebatuan yang tajam disatu sisi. Air kini tengah menenggelamkan setengah dari badanku, “Tolong! Help!” teriakku. Tak ada sahutan. Aku mencoba meraih salah satu dahan pohon supaya aku tak terbawa arus. Hap! Satu dahan pohon yang rapuh tertangkap tanganku.
“Miss! Give your hand, the branch will be broken!”Ada seorang pemuda di sana. Jemarinya meraih tanganku dan mengangkatku ke tempat yang lebih tinggi. Untung saja jalan keluar dari pantai ini berupa karang-karang besar yang bisa menjadi tempat menghindar dari serbuan ombak.
Akhirnya aku terbebas dari ombak ganas itu. What was this? Tsunami? pikirku meracau. “Hey, are you okay?” pemuda di hadapanku ini berusaha berbicara padaku. Aku hanya mengangguk. “Ah, how stupid I am! I think you’re shock, let me explain what that was.” Dengan pemahaman bahasa Inggris sedalam apapun, ketika kamu shock, semuanya akan sulit dimengerti.
“Miss, don’t be shocked, everything’s all right.” Perlahan namun pasti, aku kembali menjadi diriku sebelum shock melandaku. Tak ada satu pun kata yang terucap, hanya senyuman kecil tanda terima kasih. “I assure that you’ve thought that it was a tsunami, but it wasn’t. It was the tide. Sometimes, tide mostly like a tsunami in here. Don’t be panic anymore, Miss!” Oh, jadi ternyata cuma pasang naik air laut, “Thank you.” Akhirnya ada kata-kata yang meluncur keluar dari bibirku. “No problem, Miss.”
“I’m Fina.” aku memperenalkan diri, terlalu aneh dipanggil ‘Miss’. “Oh, nice to meet you Fina, I’m Angelo.” jawabnya santai. Tak tahu harus berkata apa lagi, “Nice to meet you too.”
Comments
Post a Comment