Sebentar-sebentar kulihat jam yang menempel dipergelangan tangan kiriku. Jarum jam bergerak dari angka yang satu ke angka yang lain. Perlahan, detik-detik berlalu menjadi menit. Rupanya sudah sekitar setengah jam aku menunggu.
Ruangan yang menjadi tempat penantianku cukup besar. Kursi-kursi panjang ditata sedemikian rupa sehingga bisa memuat cukup banyak calon penumpang. Di tepi ruangan ini, berjajar kios-kios kecil yang menjual berbagai macam souvenir.
Aku duduk tepat disebelah salah satu tiang penyangga. Di sebelah barat, wanita-wanita kaum sosialita sedang membicarakan sesuatu yang bahkan aku tak tahu. Sementara di depanku, hanya ada seorang pria yang sedang membaca koran. Aku seperti terasingkan, padahal ini tempat ramai. Ini layaknya paradoks.
“Semuanya baik-baik saja?” tanya Ayah dari seberang telepon.
“Iya.”
“Mengapa kau bisa mengangkat teleponmu? Bukankah seharusnya kau sudah berangkat?”
“Aku masih di ruang tunggu, Ayah. Seperti biasa, penundaan jadwal keberangkatan.”
“Jadi kapan kau akan lepas landas?”
“Aku harap secepatnya.”
“Berilah kabar, ketika kau sudah sampai.”
Jika ingat Ayah, aku ingat mengapa aku harus menjadi bagian dari semua ini—pendidikan yang telah direncanakan. Ini bukan kehendakku, tetapi aku harus menurutinya. Embel-embel ‘membahagiakan orang tua adalah yang utama’ adalah motivasiku untuk menjalani ini.
Terkadang aku haus akan sesuatu yang berada di luar pendidikan yang telah direncanakan oleh kedua orang tuaku. Namun apa daya, mungkin suatu saat hal itu hanya akan menjadi hobiku, bukan suatu yang utama. Aku ingat, orang tua lebih tau apa yang baik untuk anak-anak mereka sehingga aku yakin semua ini adalah yang terbaik untukku.
Aku melirik jadwal penerbangan. Ia yang kunantikan akhirnya hadir. Kini, waktuku untuk berjalan keluar dari ruang tunggu dan menuju langkah awalku. Ini demi tercapainya apa yang baik untukku di masa depan.
“Dream high, let’s fly!”—TUC2015
Comments
Post a Comment