“Kau tahu, semuanya sudah terlambat,” kataku penuh penyesalan. “Tak ada yang bisa aku lakukan sekarang,” tangisku pecah seketika.
“Maaf,” kata itu meluncur begitu saja dari mulut Avasa. “Ini semua kesalahanku, aku patut diasingkan dari negeri ini.”
Aku berjalan memutari tubuh Avasa yang duduk bersimpuh. Langkah demi langkah terasa sangat berat. Aku tak ingin kehilangan Avasa, dialah satu-satunya orang yang kudamba. Hanya Avasa yang bisa membuatku senang, meskipun sekarang dia memaksaku untuk menitihkan air mata. Tak mungkin aku rela jika Avasa harus diasingkan dari negeri nan indah ini.
“Avasa,” kataku seraya mencoba menatap kedua matanya. “Izinkan aku untuk ikut denganmu,” pintaku. Aku telah bersimpuh di hadapan Avasa, tak ada sepatah kata pun yang dikatakannya.
Keheningan menyelimuti kami selama beberapa detik. Akhirnya Avasa berbicara, “Maaf Avantika, aku tak memberimu izin, pengasingan tak aman untukmu, kau harus tetap di sini.” Avasa beranjak, “Berjanjilah, jangan menungguku!” serunya yang kemudian meninggalkanku sendirian.
Aku masih bersimpuh dan terisak ketika dengan perlahan tirai ditutup. Suara tepuk tangan dan sorak sorai dari seberang tirai membuatku tersenyum.
Comments
Post a Comment