Skip to main content

Risiko

Keheningan mengantarku memasuki gedung yang entah apa namanya ini. Bersama kedua rekanku, aku bertolak menuju pintu gerbang kematian. Bukan suatu hal yang patut dibanggakan, tapi ini mengerikan. Menunggu detik-detik di mana kepala kami dipenggal dengan tajamnya besi pemotong. Namun, inilah risiko. Risiko yang harus kami terima atas segalanya.

Tiga bulan yang lalu, tepatnya sehari sebelum pelantikan presiden baru, kami menyusun banyak rencana. Mulai dari rencana yang paling mudah dilakukan hingga rencana yang akan kami gunakan untuk keadaan yang paling buruk. Rencana ini hanya kami yang membuat, meskipun nantinya bukan kami yang melaksanakan. Kami hanya pimpinan dan bisa dibilang penanggungjawab.

“Ada yang janggal dari rencana A,” ujarku saat salah seorang rekanku menggambar rencana ketiga kami. “Jika seseorang menembak di tengah kerumunan rakyat, aku yakin dia tidak akan selamat sehingga harus ada beberapa orang cadangan yang bisa menyelamatkan orang yang menembak itu,” lanjutku.

“Benar, ingat prinsip kita, tidak ada yang boleh mati selain si presiden sialan itu,” tanggap Dan.

“Ah, tapi kita tidak punya cukup orang. Apa perlu kita mendoktrin orang-orang baru?” Alex bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Jangan!” seruku, “Semakin banyak orang, semakin besar kemungkinan polisi akan menemukan kita,” terangku.

“Bagaimana kalau kita turun langsung? Kita yang akan menyelamatkan si penembak,” Dan memberikan solusi.

Semua setuju—aku, Alex, dan Dan. Kami menjalankan rencana di hari pelantikan presiden baru. Semua anak buah sudah di titiknya masing-masing, begitu juga dengan kami. Awalnya semua berjalan lancar, tetapi ketika tembakan pertama meluncur, tembakan itu meleset. Peluru kecil itu mengenai salah seorang anak presiden.

Sontak, aku dan Alex berlari menyelamatkan si penembak utama, melarikannya ke tempat yang aman. Si penembak utama telah aman ketika polisi berhasil menangkap Dan—tepat di belakang kami. Dengan seperangkat senjata tajam di tubuh kami, para polisi tidak bisa dibodohi, mereka berhasil menangkap kami bertiga. Syukurlah, para anak buah kami tidak ada yang tertangkap.

Kini, kami yang harus mempertanggungjawabkannya. Sudah tidak ada lagi jalan keluar. Jadi kami hanya menunggu saatnya tiba. Mungkin beberapa menit lagi.

Comments