Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

Berproses Bersama

Di luar, angin berhembus menggoyahkan ranting-ranting pohon. Awan kelabu pun membawa kepiluan menyelimuti langit. Di salah satu sudut ruangan, aku memandangi tetesan air hujan yang semakin lama volumenya semakin besar, lalu terhanyut dalam lamunan. Terbersit dengan jelas bagaimana malam itu hujan deras, wacana untuk api unggun beralih menjadi sebuah forum panas di mana aku menjadi salah satu tokoh antagonisnya. Masih teringat kata-kata apa yang kulemparkan kepada satu-satunya orang yang diserang dalam forum itu. Entah setan apa yang menghasutku, layaknya kayu yang tersulut api, aku meluapkan segala yang kurasakan. Begitu pula beberapa teman-temanku. Mulai detik itu aku memutuskan ingin mengakhiri kepengurusanku dalam organisasi itu, bahkan keputusanku sudah bulat. Lepas beberapa bulan setelahnya, di malam perpisahan, aku sadar bahwa organisasi itu masih membutuhkanku, dan secara sadar atau tidak aku pun juga membutuhkan organisasi itu. Sekadar tempat untuk pulang katanya, namun...

Beraksi dengan Nyata

Terik matahari terserap korsa hitam yang tengah kukenakan, menembus masuk ke setiap inci kulitku. Sensasi terbakar tak ayal sebuah bualan, kali ini benar. Namun, di seberang sana Okan masih saja semangat dalam mengutarakan opininya. Aku tak habis pikir dengannya, di cuaca yang sangat panas seperti ini justru membuat semangatnya semakin menggebu untuk menyuarakan pembebasan. “Gimana, Sya?” tanyanya setelah semua orang selesai membereskan atribut-atribut aksi. Ia kemudian menyodorkan botol minum yang isinya tinggal setengah. Alih-alih menjawab, aku dengan sigap meraih botol minum itu dan menegak isinya. Setelah hanya menyisakan sedikit air di dalamnya, aku menutupnya diiringi kekehan Okan. “Gila ya, panas banget. Kok kamu betah banget sih ikutan demo-demo kayak gini?” cerocosku. Lagi-lagi Okan terkekeh dan segera memberikan tanda untuk pulang. Ternyata Okan tidak langsung membawaku menuju kosanku. Ia justru membawaku ke salah satu café yang tak jauh dari tempatnya tadi berorasi...

Sebuah Nasihat

Memilih mata kuliah pilihan biasanya didasari oleh konsentrasi apa yang akan dipilih mahasiswa, kebanyakan mahasiswa lebih tepatnya, namun mungkin tidak berlaku padaku. Alih-alih mencari ilmu, aku lebih memilih untuk mencari dosen yang terkenal suka membagi-bagikan nilai A. Seperti biasanya, aku bertanya pada kakak-kakak tingkatku terkait mata kuliah apa yang diampu oleh dosen-dosen yang kuinginkan itu hingga akhirnya aku memutuskan untuk memilih salah satu mata kuliah yang ditawarkan ada pada sesi dua perkuliahan di hari Senin. Pertemuan pertama yang hanya dihadiri tidak sampai seperempat jumlah mahasiswa terdaftar berjalan dengan sepi. Dosen mata kuliah tersebut belum menyinggung banyak terkait materi perkuliahan untuk satu semester ke depan. Namun, banyak hal yang aku tangkap dari perkuliahan pertama sang Dosen. “Kalau kalian takut bertanya di kelas, apa yang harus dilakukan?” tanyanya di akhir pertemuan. “Bisa menghubungi Bapak melalui….” Sahut seorang teman. “Salah,” s...

Andai Dia Tahu

Denting piano yang dilantunkan melalui pemutar musik lamat-lamat tertangkap oleh kedua daun telinga laki-laki berparas tinggi itu. Langkah kakinya yang terus berayun semakin mendekatkannya pada sumber suara. Ketika pemutar musik itu tengah berada di hadapan laki-laki berseragam putih itu, seperti rutinitasnya di hari-hari biasa, dia meletakkan tas punggungnya kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi malas yang memang sedari dulu ditempatkan di sana. Satria membuka gawai personalnya dan mulai mengerjakan tugas-tugas yang lama terbengkalai akibat ulahnya sendiri. Memori akan kejadian yang diceritakan padanya beberapa hari lalu kembali berkelebat, sebuah memori tentang sesuatu yang tidak akan dipikirkan kembali oleh siapapun. Namun, dengan sedikit paksaan, Satria berusaha mengalihkannya. Meski begitu, raganya mengkhianati pikirannya. Sebentar-sebentar dia berdiri untuk memperhatikan seorang gadis yang duduk di ujung ruangan. Tidak, Satria tak menyukainya, hanya saja dia khawatir ...

Cela yang Fana

Tak ubahnya sebuah panggung sandiwara, inilah dunia. Dengan kostum dan topeng yang berbeda-beda, mereka berhadapan, berdialog, dan beradu. Ada kalanya salah seorang dari mereka harus berkorban dengan mempertontonkan kesejatian diri. Terhina, marah, dan juga dendam menyelimuti benaknya. Sebagian di antara mereka akan diam dan menyaksikan, namun bagian lainnya akan berindak tak acuh dan terus berjalan. “Bagaimana ini bisa terjadi?!” Lantunan nada berisi sumpah serapah berkelebat memenuhi atmosfer. Menggema bagai cambuk yang siap melukai harga diri. Tidak hanya menempel pada diri si empunya dosa, tetapi juga diperuntukkan untuk sanak saudara dan keluarga. Aku, berdiri sendiri setelah mereka menanggung malu yang tak terhapuskan. Tak sudi menerimaku terlebih berharap padaku. “Mengapa tak seorang pun berdiri disisiku?!” Kali ini dapat kupastikan tak ada yang mendengar, tetapi—merasakan kedatangan seseorang sudah seperti indera keenamku—aku dapat merasakannya. Seorang pria paruh ...

Dialog Hujan

Malam ini aku bertanya pada rintik hujan, “Apa yang kau rasakan setelah menghantam tanah?” Namun, tak ada jawaban, seperti dugaanku. Aku melanjutkan, “Apakah itu sakit?” Lagi-lagi tak ada jawaban. Mataku masih terpaku pada butiran demi butiran air hujan yang siap mendarat di permukaan bumi dengan kecepatan yang beragam. Ketika mereka mulai memukulkan dirinya ke tanah, sebuah jawaban dilontarkan hujan tanpa perantara kata. Ya, itu cukup menyakitkan dan melukaiku. Bayangkan saja, aku sendirian menghadapi tanah. Aku tak bersalah, namun aku yang harus mengalah melawan tanah. Aku mengorbankan diri untuk menjadi tetesan yang lebih kecil lagi, namun aku puas telah membuat sebuah kecacatan pada tanah. Aku terheran dengan sifat angkuh hujan yang seakan mengatakan bahwa dirinya yang terbaik dibandingkan tanah. Seakan diperhatikan, hujan seolah memperhatikanku, melihatku dengan iba untuk keadaanku. Tidak, tidak, jangan salah paham. Aku tak pernah berniat melukai tanah. Aku hanya melak...

Mad World

I used to learn sociology.  Tak banyak yang aku pelajari. Prinsipnya, manusia adalah makhluk sosial. But, I’ve learnt a thing. Aristotle had never said that man is a social creature, inverse he said man is a political animal. Zoon politikon tidak berarti manusia adalah makhluk sosial seutuhnya, di balik kesosialannya, manusia berinteraksi untuk hal yang menguntungkan dirinya. Tak jauh berbeda dengan kehidupanku saat ini, orang-orang di sekitarku saling berinteraksi hanya karena mereka membutuhkan sesuatu. Ada beberapa orang yang tak kukenal yang tiba-tiba memanggilku, di kala ujian semakin dekat. Ada beberapa orang yang tak kukenal yang tiba-tiba datang, di kala aku memiliki sesuatu untuk dibagi. In short, it doesn’t even matter if it is a mutual symbiosis, but people nowadays just have a willingness to fullfil their interests . Terlebih, kotak-kotak pertemanan semakin terlihat jelas. Masih dalam suasanya yang sama. They gather to reach their own interests . Mereka seolah...