Aku tak pernah membayangkan bisa hidup tanpamu. Klise memang, tetapi itu kenyataan yang terucap, dulu. Ketika kita masih menjadi kita. Kita yang diselimuti canda tawa, keceriaan, kasih sayang, dan perhatian.
Kau pernah membisikkan sebuah kalimat, waktu itu, saat pertama kali kau menceritakan seorang gadis kepadaku. “Kamu tempat curhat terbaik, Dek...” katamu dengan senyuman khasmu itu. Aku hanya tersenyum. Bukan senyum yang sebenarnya. Aku hanya menarik kedua sudut bibirku untuk membentuk lengkungan yang kau sebut itu senyum.
Jika kau sadari, dibalik lengkungan senyum itu ada emosi yang tertahan. Sebisa mungkin aku menutupinya darimu. Aku tak ingin ada perubahan di antara kita ketika kau mengetahui kenyataannya. Kenyataan bahwa selama ini aku berharap lebih, bukan hanya sekedar tempatmu mencurahkan segala cerita dan pengalaman.
Belum sempat kau tahu arti perasaanku yang sebenarnya, kau telah bersamanya. Bersama mungkin untuk selamanya. Mulai hari itu, tak ada lagi kita yang dulu. Semuanya kini menjadi hampa. Chat room kita sudah lama tak berfungsi. Jika berfungsipun, isinya hanya pesan-pesan serius perihal suatu acara atau suatu yang mendesak.
Canda tawa dan keceriaan hilang seketika. Kasih sayang dan perhatian seakan kau pindahkan begitu saja. Sudah tak ada lagi sedikitpun untukku. Mungkin inilah saatnya aku menarik kembali semua yang telah kuberikan. Bukan benda-benda atau apapun yang pernah kuberikan. Namun, ini soal perasaan.
wadaw... I know how u feel *__* sabar ya dif, jodohmu yg sesungguhnya ada di luar sana sedang menunggu untuk dipertemukan denganmu ^^~
ReplyDeleteduh, itu sakjane bukan pengalam pribadiku :'''
Deleteitu terinspirasi dari orang yang sering curhat ke aku :))))
owalah..tak kirain kamu yg mengalami
ReplyDelete