Skip to main content

Menunggu

Memang asing jika berada di negeri orang. Itu pula yang terjadi padaku. Hanya bisa mengedarkan pandangan dari salah satu sudut tempat wisata ini. Berupa bangunan kokoh bersejarah yang dikelilingi jalan berbatu dan tumbuh-tumbuhan hijau tergenang air. Beberapa pengemis miskin juga terlihat sedang berjajar mengharapkan keping demi keping uang koin dari para pelancong. Tempat ini serasa sebuah tempat yang merangkum keadaan di bumi ini. Sebagian adalah orang-orang yang berkecukupan, sebagian lainnya merupakan orang-orang yang kurang beruntung.

Cahaya putih yang terpancar dari kamera bersahutan, berusaha menerkam gelapnya awan di langit. Hujan yang tak kunjung reda, tidak menurunkan antusiasme para pelancong. Mereka masih saja gila berfoto dengan gaya mereka masing-masing. Namun, di samping kegilaan para pelancong, para pengemis belajar arti kehidupan yang sebenarnya. Meskipun hujan dan lelah melanda mereka, mereka tetap harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga atau bahkan hanya untuk mendapatkan sesuap makanan.

Telponku berdering. Ah, manusia ini lagi yang menghubungiku.

“Halo, di mana kau berada?” tanyaku langsung.

“Aku masih di terminal kedatangan,” jawabnya lesu.

“Baiklah, aku akan menunggumu di salah satu kafe, jika sudah sampai, hubungi saja aku lagi,” pintaku.

“Baiklah ‘Pangeran yang suka mengatur’,” balasnya dari seberang.

Aku melangkah menuju sebuah kafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari posisi awalku. Kafe yang terlihat seperti perpustakaan jika melihatnya sekilas. Buku-buku lawas tersusun rapih di etalasenya. Namun, ketika masuk, suasana kafe layaknya kafe pada umumnya dengan mudah kutemukan. Aroma kopi dan keju panggang menyeruak, diikuti dengan aroma keringat orang-orang yang sedang menyantap pesanannya.

Ornamen dinding didominasi oleh warna coklat susu yang dibeberapa sisinya terdapat lukisan-lukisan Menara Eiffel. Aku mengangkat tangan kananku. Meminta pelayan untuk mencatat pesananku.

“Tolong satu kopi hitam dan croissant,” kataku kepada seorang pelayan menggunakan bahasa Perancis.

“Baiklah,” jawab pelayan itu.

Sambil menunggu, aku mengecek ponselku. Menunggu berita terbaru dari Tisya pasca hubungan telpon singkat tadi. Namun nihil, tak ada satu pun berita darinya. Semoga ia tak tersesat, mengiat ia tak terlalu mahir berbahasa Perancis.


Comments

Post a Comment