Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Learn from You

Tak ada seorang pun yang tak kagum denganmu ketika semester perdana kita baru dimulai. Everyone wanted to know about you. Semua hal tentangmu: namamu, dari mana kau berasal, siapa orang tuamu, dan sebagainya. I did admit that you shining bright at that time. Setelah masa orientasi selesai, kau disibukkan dengan pencarianmu akan suatu tanggung jawab, sayangnya kau gagal mendapatkannya. Kemudian, kau tiba-tiba memilih untuk pergi dari tempatmu ini, bahkan kau seperti angin yang hanya lewat begitu saja. All of a sudden (again), you came back surprisingly. Kau kembali dengan sesuatu yang tak lazim di lakukan orang-orang, termasuk pendahulumu. Semua orang membicarakanmu, namun kini bukan kagum yang mereka utarakan, melainkan celaan dan keheranan mengapa kau sampai hati untuk melakukannya. I did tell and be told about it, I admitted . Today is the first time I have a conversation with you . Kau menceritakan bagaimana kau sampai pada titik ini. Melalui ceritamu, kau seakan mengajark...

BreadCrumb oleh Jenny Annissa

It’s a long time ago terakhir kali aku menulis review novel. There’s no excuse sih sebenernya untuk berhenti menulis review novel. Hari ini, aku kembali dengan sebuah novel karangan Jenny Annissa. Judulnya BreadCrumb. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2018 oleh PT Elex Media Komputindo dengan tebal kurang lebih 498 halaman. I’m not really sure it was published on wattpad or not, but some of my friends told that way the writer published it . BreadCrumb sendiri merupakan nama toko roti yang dimiliki si tokoh utama. Menurutku, judul yang diambil penulis ini juga untuk merangkum keseluruhan novel secara implisit. BreadCrumb mengisahkan kisah cinta seorang pemuda yang pada masa SMA-nya jatuh cinta pada gadis terpopuler di SMA mereka. Pemuda ini bernama Ian dan gadis terpopuler ini adalah Avissa. Kini mereka sudah beranjak lebih dewasa. Ian tengah sibuk mengurus toko rotinya di kala undangan reuni SMA-nya datang. Ian dan Avissa dipertemukan dalam reuni tersebut. I...

Waiting

Matahari sudah pergi beberapa menit yang lalu. Aku tengah mendengarkan Endah N Rhesa dengan syahdu ketika rentetan notifikasi memenuhi ponselku. Tanpa komando, jemariku memaksaku untuk menilik pesan-pesan itu. Ya, dia lagi, seseorang yang akhir-akhir ini sudi mendengarkan keluh kesahku sekaligus orang yang tak enggan menceritakan apa yang terjadi pada harinya. “Aku lelah,” katanya pada pesan terakhir yang dikirimkannya. “Semangat!” hanya sepenggal kata itu yang menjadi balasanku untuknya. Dia gagal untuk kesekian kalinya. Pesan-pesan yang diketiknya sebelumnya sudah menjelaskan berbagai alasan mengapa dan bagaimana. Aku tak tahu harus merespon seperti apa, kali ini dia benar-benar merasakan sebuah kekecewaan. Aku hanya terpaku melihat jam analog yang tergantung di salah satu dinding kamarku terus menggerakkan jarum-jarumnya. Tak sampai 15 detik, ponselku kembali bergetar, kali ini musik yang kuputar berhenti. Balasan atas semangat yang kuutarakan, sebuah panggilan telepon. ...

Bernapas di Sungai Keruh

Tidak, kali ini aku tidak akan bicara tentang cinta. Ini hanya sebaris perasaan yang terbersit beberapa waktu di benakku. Sekat antara kecewa, dilema, sedih, dan marah seakan memudar. Semuanya berpacu menghantam setiap inci partikel pertahananku. Hingga cairan bening ini menerobos sudut-sudut mataku tanpa permisi. Tidak, aku tidak menjadi seperti ini karena cinta, melainkan sesuatu yang lain yang kugambarkan dengan kata “kekeluargaan”. Pada awalnya, aku benar merasakannya. Bahkan, aku mematri kata itu setiap kali kami bercengkrama. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, semua berjalan tanpa kendala yang berarti. Hingga pada saatnya satu per satu dari kami mulai gugur untuk terbang bersama angin. Tidak, aku tak merasa kehilangan, justru aku mencintai mereka dan aku tak bisa menahan mereka untuk pergi. Dengan sedikit bekal dari mereka, aku mencoba terus berkembang. Meskipun, kata “kekeluargaan” itu tak lagi menjadi poin utama di dalam hatiku. Hingga perlahan kata itu hilang tertelan...

You are Enough

Kotak-kotak sisa makan siang dan kardus-kardus berisi setengah penuh minuman dalam kemasan itu tampak sangat berat dalam dekapanmu. Kau rela berbalik untuk mengambil barang-barang yang tak sengaja luput dari penjagaanmu. Kau melakukannya dengan senang hati, bahkan aku bisa melihat senyum tulusmu yang selalu berkembang seharian, kapanpun. Ketika kau berpapasan dengan beberapa orang yang kukenal, dari sudut sini, aku jelas melihat gerak bibirmu. Kau tak enggan untuk memberikan dukungan dengan kata-kata semangat dan berterima kasih. Tak kusangka, kau berjalan mendekat. Tepat di bawah pohon besar, tempat di mana aku berteduh, kau berhenti. Kau pamerkan deretan gigi putihmu itu dan membentuk senyum yang lebar. “Disya,” panggilmu. Kau bahkan mencoba menghafalkan setiap nama orang, termasuk namaku, agar kau tak melukai hatinya. Itu suatu hal yang amat mustahil untukku ketika orang yang kau hafalkan berjumlah lebih dari seratus orang, dalam waktu yang relatif singkat. Aku ...

Senyum yang Sama

Sebuah foto melayang jatuh mengenai jemari kakiku. Tanpa komando, secara refleks, aku mengambil lembaran kecil itu. Sangat usang dan diselimuti debu. Senyum hangat penuh kebahagiaan terpancar dari orang-orang yang dijepret lensa kamera. Semua yang ada di dalamnya masih sangat muda, termasuk gadis berambut pendek berbalut jaket musim dingin itu, aku. Hari itu adalah salah satu hari yang bahagia, salah satu hari dari sebulan liburanku. Entah apa yang ada di benakku, aku memberanikan diri untuk ikut terjebak dalam dinginnya atmosfer siang itu. Bersama empat orang yang sudah kukenal, aku lekas mengenakan jaket musim dingin itu. Kami bersenang-senang layaknya anak-anak pada umumnya. Bagaimana tidak, ini seperti musim dingin pertama kami. Beberapa dari kami sempat menggigil, entah karena benar terlalu dingin di tempat itu atau karena kami terlalu kegirangan. Aku, sebagai salah satu dari dua anak perempuan di sana, memberanikan diri untuk berjalan berdampingan dengan anak laki-laki...

Ini Kisah Tentang Setangkai Mawar

Ketika aku masih menjadi benih, aku tak bisa melihat apapun. Semuanya gelap, tapi aku bisa merasakan kasih sayang alam yang mengalir mengitariku. Aku bahkan tak tahu bagaimana semuanya berjalan di dunia ini dengan sangat cepat. Namun, tiba-tiba beberapa sulur mengitariku dan melilitku. Mereka adalah calon kelopakku. Mereka kuat dan rapuh di saat yang sama. Tangan-tangan jahil bisa dengan mudah mengelupasnya sehingga aku dapat merasakan hembusan angin sebelum waktu seharusnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Mengapa kau mengelupas pelindungku?” Tak ada jawaban. Hanya tatapan kosong dari si empunya mata hazel itu. Jemari rentanya masih berkutat pada calon kelopakku. Menggerogiti satu demi satu hingga mereka jatuh ke tanah. “Maaf,” katanya lamat-lamat, “Aku hanya ingin tahu warnamu sebelum kau menjadi mawar yang sesungguhnya.” Aku bergidik, tidak bisakah ia sabar menunggu hingga aku mekar. Itu tidak butuh waktu lama, mungkin hanya satu hingga dua minggu saja. Ketika kelo...

Birthday Wishes

Semula, aku ragu. Semuanya terasa asing dan baru. Hanya beberapa orang saja yang kukenal. Itu pun tak berteman baik. Kemudian, kau datang dalam kehidupanku. Aku masih ingat betul bagaimana kau mencoba mengingat nama kami yang tak mudah kau hafal. Ketika dipikirkan, ini semakin lucu. Kita tak sering bertemu. Perbedaan kelas dan kesibukan menuntut kita untuk tidak banyak bertemu. Hingga pada satu titik, kita mendaftar di tempat yang sama. Aku ragu untuk kedua kalinya, orang sepertimu berniat bergabung dengan kami ? Aku tak menyangka. Diselingi dengan gosip tak enak yang sering dilantunkan orang tentangmu yang silih berganti melewati kepalaku. Aku semakin takut untuk berteman. Namun, aku tahu aku salah dan jalan yang kutempuh ini sudah benar. Kau benar membuktikannya. Ketika aku pada titik terendah dalam pergaulanku di dunia perkuliahan, kau ada di sampingku. Bahkan, tanpa berpikir panjang, kau membantuku. Banyak kata terima kasih yang terlewat kuucapkan. Kau pantas mendapatkan...

Let Me Go

Jatuh cinta pada teman kecil. Sesuatu yang cliché dan bukan aku . Tak pernah terbersit di benakku jikalau aku akan bertemu dengan temanku dari masa lalu. Benar masa lalu, karena aku sudah membuang semua memori masa kecilku dan tumbuh mengikuti aliran kehidupan ini. Namun, Sang Penguasa Alam menuliskan dalam takdirku bahwa aku akan melanjutkan kembali masa laluku. Melalui dia . Tidak tampan, tidak pula kaya raya. Berasal dari keluarga broken home , berasal juga dari sekolah yang tak cukup favorit di kota. Hanya sebatas lelaki muda seumuranku yang tidak ada kata perfect tersangkut di kehidupannya. Bahkan, dia terkenal sering memainkan hati perempuan. Bukan seseorang yang patut didamba. Awal pertemuan kami sangat canggung. Aku tak tahu bagaimana aku bisa mengenalinya sebagai teman kecilku. Juga, aku tak paham dia begitu ramah kepada orang yang baru dikenalnya. Aku anggap pertemuan kami ini kali pertama, jujur aku tak mau terjebak pada kenangan masa lalu yang sekarang telah ber...