Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

I Couldn't

Di salah satu sudut café, seorang gadis duduk termenung memandangi cangkir kopi pesanannya. Pada awalnya, ia tidak sendiri, ia bersama seorang teman. Namun, sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Sang teman harus terpaksa berkumpul dengan segerombolan orang lainnya untuk menyelesaikan suatu proyek, masih di tempat yang sama, tetapi di meja yang berbeda. Sesekali, Nada, gadis itu, melirik ponselnya. Ia masih berharap seseorang akan beritikat baik untuk menemaninya duduk menunggu sang teman. Beberapa pesan dari orang yang berbeda masuk hampir bersamaan, isinya pun hampir sama, sebuah penolakan halus. Nada hampir frustasi, ia mengetuk meja dengan jemarinya beberapa kali. Ia sudah menyerah dan memutuskan untuk menunggu sang teman sendirian. Jemarinya kini berpindah pada ponselnya, megusap layar ponsel tanpa minat. “Nad,” seseorang sepertinya tengah memanggil namanya. Nada reflek menengok ke sumber suara. Senyumnya lantas merekah melihat seorang yang siap menyelamatkan dirinya dari ...

That Night When I Found You

Ketika sajak menggema di bawah purnama, aku mengedarkan pandang. Berharap denting piano mengiringi kedatanganmu. Tidak tampak batang hidungmu dari sini, yang ada hanya riuhnya orang berdesakan berebut udara. Hampir setiap orang yang ada di sana bersolek layaknya artis papan atas. Menggunakan gaun berenda eksklusif atau  tuxedo  mahal keluaran desainer ternama. Rasanya hanya aku yang tampil apa adanya berbalut gaun sifon sederhana, atau mungkin ini hanya perasaanku saja. Tidak ada yang peduli dengan keberadaanku, terasing di tengah keramaian, sangatlah cliche. Orang-orang silih berlalu di hadapanku, saling menyapa dan berbasa-basi sebagai bentuk kesopanan. Obrolan singkat mereka kurang lebih sama, hanya seperti itu. "Boleh duduk di sini?" seseorang bertanya dalam keramaian, aku mengiyakan tanpa melihat siapa itu. Melihatnya pun aku tak kenal, ia mengenakan setelan jas hitam elegan dengan rambut yang terlampau acak-acakan. Aku bahkan tak minat untuk menghiraukannya. Euforia ant...

Never Love Spring

Desah angin berhembus lembut di sekitar leherku meski telah kukenakan syal yang berkali-kali kulilitkan. Dingin tetapi tidak terlalu, bahkan terkadang aku merasakan kehangatan yang rancu silih berlalu. Pucuk-pucuk daun terlihat berkembang dengan malu-malu, terkadang mereka melambai, terkadang mereka memutuskan untuk berdiam. Aku yang tengah menyusuri trotoar berjalan perlahan, sangat perlahan. Kakiku terus memaksa bergerak sedangkan benakku berkata lain. Bukan, bukan untuk berhenti namun untuk singgah sebentar pada suatu tempat di mana aku kerap memikirkan apa arti cinta dan kasih sayang. “Kau pikir aku tak benar-benar membutuhkanmu?” tanya laki-laki itu sore itu. Aku tak merespon, justru menyesap kopiku hingga tersisa hanya ampasnya. Ia terdiam melihatku bungkam. Matanya menatap tajam, mungkin kepalanya siap meledak kalau-kalau di sekitar kami tak banyak orang. “Aku membutuhkanmu, sangat.” “Bukan sekarang waktu yang tepat,” kataku akhirnya. Setelah aku memikirkannya d...

It's About a Choice

Daun kering berguguran melepaskan diri dari tangkainya yang telah rapuh. Hembusan angin dan teriknya sinar matahari menambah hawa kering atmosfer. Aku dan seorang temanku melintas di salah satu lingkungan yang cukup terkenal dengan sekolah-sekolah terbaik di Kota Pelajar ini. Karena sudah masuk waktu Ashar kami memutuskan untuk berhenti di salah satu masjid. Masjid ini adalah bagian dari sejarah, sejarah Islam dan juga sejarahku, Masjid Syuhada. Temanku beranjak menaiki tangga setelah mengambil air wudhu, sedangkan aku menuju tempat khusus perempuan. Aku melaksanakan 4 raka’at sholat kemudian berdoa sebentar. Ketika aku akan mengembalikan mukena yang kupinjam, seorang perempuan dalam balutan pakaian hitam memasuki ruangan. Ia menaruh kaos kakinya kemudian melepas cadarnya. Ia hanya beberapa langkah di depanku. Dengan sopan aku tersenyum sekilas ke arahnya. Alih-alih membalas senyumanku, ia justru berdiri dan menghampiriku. “Hai, Dhif!” sapanya ramah. Aku amat terkesiap dengan a...

Semburat Peristiwa

Ini cerita tentang aku dan seseorang yang pernah mewarnai masa laluku. Kami pertama kali bertemu di kelas, sewaktu SD. Ia adalah murid pidahan. I a terlihat malu-malu untuk takaran seorang anak laki-laki. Aku yang suka sksd langsung mengajaknya berteman. Awalnya, semua berjalan sesuai kehendak kami. Kami berlarian di kelas, kami bergurau, dan bahkan kami melakukan suatu hal ekstrem: meneteskan air bekas cat air ke lidah kami. Cukup tak masuk akal bagi anak kelas 3 SD, tapi itulah kami. Hari demi hari berlalu, seorang teman meneriakkan namanya kemudian memberi kata-kata suka setelahnya, dan kemudian menyebutkan namaku. Aku terkejut tapi tak ambil pusing hingga ia menuliskan namanya disertai bentuk hati dilanjutkan dengan namaku di bawahnya. Ini nyata dan aku benar-benar tak suka. Aku hanya memandangnya sebagai teman baru, tak lebih. Setelahnya, aku semakin menjauhinya. Teman-teman kami selalu memasang-masangkan nya denganku, aku amat terganggu dan sedikit risih . Kami tak...

Korean Drama Review: Sageuk Romance

Annyeong! Ok, it’s the first time I’ll review some korean dramas. I'm not sure it will be a review, maybe it’s kind of recommedation. Karena aku suka genre romance, jadi drama-drama yang bakal aku sebutin pasti ada romancenya. But, I don’t really like that kind romance, yeah taulah yang berlebihan gitu. And, karena genre romance udah biasa, it’s time to watch sageuk romance dramas. Check this out! 1. Jang Ok Jung, Living by Love (2013) Drama ini diangkat dari novel yang mengisahkan Jang Ok Jung, salah satu permaisuri paling berpengaruh di Dinasti Joseon. Jang Ok Jung ini awalnya fashion designer yang nantinya ketemu sama Crown Price Lee Soon. But, perjalanan cinta yang diperankan Kim Tae Hee sama Yoo Ah In ini nggak nggak semulus yang dibayangkan. Ada aja deh konfliknya, and the most nyebelin itu konflik sama Queen Inhyun yang notabene jadi permaisuri lebih dulu. Endingnya? I can’t help but it’s a sad ending drama. 2. Shine or Go Crazy (2015) Ini kisah cinta an...

Sebuah Tulisan untuk Si Empunya Hati

Secangkir kopi yang tersaji di hadapanku terasa amat sayang untuk dibuang. Namun, aku tak bisa menyesapnya. Kau mengawasiku sudah seperti orang tuaku. Ini itu yang aku tak boleh kau tahu semuanya meski ini baru beberapa bulan kita berkenalan. Berkedok sudah seperti keluarga, kau masuk dalam kehidupanku. Aku bersyukur atas itu karena kau yang membantuku akhir-akhir ini. Awalnya aku ragu akan kehadiranmu karena kita memiliki cita-cita yang sama untuk diterima di fakultas  itu . Otomatis kau adalah salah satu  pesaing ku. Melihat perjuanganmu yang jauh-jauh datang dari ujung barat pulau ini, aku turut berdoa agar kau bisa mendapatkan satu tempat, tepat di sampingku. Aku tak lagi melihatmu sebagai pesaing karena yang aku percaya adalah laki-laki dan perempuan  diciptakan bukan untuk bersaing, melaikan untuk saling melengkapi. Kau pernah berkata, “Kalau butuh sesuatu kamu bisa bilang saya.” Aku tahu kau benar-benar mengatakannya dengan tulus. Meski tidak beralasan me...

Ikatan Emosi

Tatkala manajernya menyibak gorden apartemennya, sayup-sayup sinar matahari menembus kelopak mata Nadine, membuatnya terpaksa terbangun dari tidur yang singkat itu. Ia masih berada di belakang piano tempatnya bersandar semalam. Lembaran partitur berserakan di sekitarnya. Dari sekian banyak partitur yang digubahnya malam itu hanya ada satu yang menyentuh hatinya. Sebuah lagu sendu yang berjudul  Faith . “Sudah kau putuskan?” manajernya memecah sunyi. “Hanya satu dan aku harus menemui penulisnya.” Laki-laki bertubuh besar itu lantas mengampiri Nadine seakan meminta penjelasan atas apa yang baru saja ia katakan. Nadine hanya sekilas memalingkan wajah padanya tanpa minat. Park menepuk bahu Nadine seraya berkata, “Dengar Nadine, kami telah meminta semua hak atas semua lagu ini, kejadian ‘ The One and Only ’ itu tidak akan terjadi lagi, jadi kau tak perlu menemuinya secara pribadi, kau hanya akan membuang waktu yang amat berharga ini.” “Baiklah kali ini aku percaya,” jawab ...

Behind the Scene

“Aku masih harus berbicara pada produser, aku tutup,” dengan terburu-buru ia menambahkan, “aku akan menemuimu secepatnya.” Dean selalu seperti itu, selalu memutus sambungan suara kami sepihak. Meski dalam sehari ia terus mengirimkan pesan-pesan seperti orang yang sedang menghawatirkanku, sama sekali tak berarti apa-apa. Ia sedang tergabung dalam sebuah proyek film yang memaksanya fokus untuk beberapa bulan, pastinya juga meninggalkanku. Berkomunikasi via suara saja terasa tidak mungkin. Bagaimana tidak, baru beberapa kalimat terlontar ia akan segera menutup telepon. “Isabel, kau masih di sana?” Ia belum menutupnya rupanya, “Apa kau marah?” Katanya seakan ia mengetahui semua yang ada di pikiranku. “Tidak,” jawabku geram, “tidak bisakah kita seperti pasangan lainnya?” “Baiklah, akan kuselesaikan ini.” Ia benar-benar menutup teleponnya kali ini. Aku teramat marah hingga aku menyerah dan memutuskan untuk tenggelam di balik selimut. Aku bermimpi seseorang tengah mengangka...

Surat untuk Kau

Tak sengaja kita berpapasan pagi ini. Kau dengan korsa hitam yang amat kau banggakan berjalan dalam diam. Garis-garis yang kau bentuk di raut wajahmu terlalu abstrak untuk kutebak. Sepasang mata sayu di balik lensa kacamatamu itu seakan menyiratkan betapa lelahnya kau terjaga hingga lepas tengah malam. Akhir-akhir ini memang merupakan hari-hari yang sulit untuk kita dihadapi. Aku terpaku sejenak melihatmu berlalu begitu saja. Entah apa yang merasuki tubuhku tiba-tiba, aku merasa memiliki sebersit semangat untuk menjalani ujian di Kamis pagi ini. Aku harap kau memiliki semangat yang sama meski aku tahu kau amat lelah dengan semua yang menghadangmu. Dulu sekali, aku tak membayangkan bagaimana serentetan ujian ini akan menerpa. Aku yakin kau juga berpikiran yang sama mengingat kau sangat suka terjun ke dalam muara organisasi. Kau bahkan lebih hebat dibandingkan aku meski kita memulai dari titik yang sama. Aku masih ingat bagaimana kita merancang tugas pertama kita sebelum teng...

Akhir dari Sebuah Penantian

Hatinya berdegup tak keruan. Setelah ia membaca sebaris pesan singkat dari notifikasi ponselnya, reflek membuatnya berjingkat dari tempat tidur. Anna, gadis berambut hitam cukup panjang itu, lantas meraih gaun-gaun dari lemarinya. Matanya memandangi cermin ketika satu persatu gaun dicocokkan dengan tubuhnya. “Aaah!” serunya kesal. Tak ada satupun gaun yang dianggapnya cocok untuk bertemu laki-laki itu. Ketika mengedaarkan pandang ke seisi lemari, ia mendapati gaun putih pendek yang terlipat di rak paling atas, gaun yang dipenuhi oleh kenangan indah waktu itu. Anna menambahkan hiasan serupa pita dan mengenakan  sweater nya. Setelah menyelesaikan  final touch  pada rambutnya, ia meraih tas selempang merah mudanya dan segera menuju tempat yang dijanjikan laki-laki si pengirim pesan. Derap langkahnya memecah sunyi. Kicauan burung yang senang akan datangnya musim semi menemani setiap doa yang terus dibacanya dalam hati,  aku harap kau menepati janjimu, aku ...